Vonis Tom Lembong Bukti Negara Biarkan Kapitalisme Bekerja Tanpa Kendali

Senin, 21 Juli 2025
Vonis Tom Lembong Bukti Negara Biarkan Kapitalisme Bekerja Tanpa Kendali

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN – Pegiat HAM dan Demokrasi, Kristian Redison Simarmata berpendapat, vonis 4,5 tahun terhadap Thomas Trikasih Lembong dalam perkara izin impor gula bukan hanya pukulan terhadap individu, tapi sinyal kemunafikan negara dalam mengelola ekonomi.


Ia mengatakan, di permukaan, Tom Lembong dijatuhi hukuman karena merugikan negara, tapi di balik itu, negara justru membiarkan sistem kapitalisme terus bekerja tanpa kendali. Menurutnya, Tom Lembong hanyalah satu dari banyak pelaksana dalam ekosistem ekonomi yang sejak awal sarat kepentingan oligarki dan pasar bebas.

“Kalau benar ini adalah penegakkan hukum, mengapa sistem impornya dibiarkan? Jika hukum menjunjung keadilan, mengapa hanya satu teknokrat yang diseret, sementara para pengambil kebijakan dan struktur kapitalistik tetap dilindungi?,” katanya dalam keterangan pers yang diterima Tribun-Medan.com, Minggu (20/7/2025).

Kristison mengatakan, Tom Lembong bukan pembuat sistem, melainkan operator kebijakan dalam ekosistem yang dikuasai logika pasar bebas. Menjadikannya simbol kesalahan tanpa membongkar paradigma dasarnya hanya akan menghasilkan pengalihan tanggung jawab, bukan keadilan substantif.

Kebijakan impor gula, kata Kristison, bukan hanya Thomas Lembong, beliau hanyalah satu mata rantai dalam sejarah panjang ekonomi pangan yang tunduk pada tekanan pasar global, korporasi besar, dan kepentingan rente. Beberapa pejabat sebelum Thomas Lembong yang juga melakukan kebijakan impor gula adalah: Enggartiasto Lukita (Menteri Perdagangan tahun 2017-2019 setelah Tom Lembong), Agus Suparmanto (Menteri Perdagangan tahun 2019-2020), Muhammad Lutfi (Menteri Perdagangan tahun 2021-2022), dan Zulkifli Hasan (Menteri Perdagangan tahun 2023).

Terkait kapitalisme, ia menyebut kapitalisme adalah sistem ekonomi yang menekankan kepemilikan pribadi atas alat produksi, persaingan pasar bebas, dan keuntungan sebagai motif utama, negara berperan seminimal mungkin. Tapi di Indonesia, sistem ini menjelma menjadi kapitalisme rente: di mana aktor ekonomi yang dekat dengan kekuasaan menguasai sumber daya, termasuk lewat kuota impor pangan.

“Akibatnya, kita menyaksikan suburnya praktik ekonomi kapitalistik yang menyengsarakan masyarakat seperti: impor pangan dan hancurnya produksi lokal, privatisasi air di mana kebutuhan dasar jadi komoditas, eksploitasi pekerja digital (gig economy), kuasa tambang dan perkebunan di atas lahan rakyat, dan komersialisasi pendidikan dan kesehatan. Kelima contoh ini menunjukkan bagaimana kapitalisme telah menjelma menjadi mesin eksklusi sosial, merampas hak dasar, dan memperdalam ketimpangan,” ujarnya.

Menurut Kristison, impor gula merupakan praktik liberalisasi impor pangan sebagai bagian dari kapitalisme global yang semakin subur di Indonesia. Dalam sistem ini, pasar menjadi penentu utama. Negara hanya sebagai fasilitator dan regulator yang lemah. Akibatnya yang terjadi: petani lokal tidak mendapatkan perlindungan harga dan kepastian pasar, impor dilakukan oleh korporasi besar yang memiliki akses politik, konsumen tetap menghadapi harga tinggi meskipun impor meningkat, dan kedaulatan pangan nasional terkikis karena ketergantungan terhadap produk luar.


“Ini adalah bentuk kapitalisme rente, di mana penguasaan terhadap izin impor menjadi komoditas politik dan ekonomi tersendiri. Negara tidak menjadi pelindung rakyat, tetapi justru penyedia karpet merah bagi segelintir pelaku pasar. Dalam kerangka ekonomi Pancasila, negara seharusnya aktif mengatur dan melindungi sektor-sektor strategis. Namun dalam praktiknya, negara justru melepas kontrol,” katanya.

“Tata kelola impor gula, distribusi pangan, bahkan harga komoditas pokok sepenuhnya dibiarkan kepada mekanisme pasar. Tidak heran jika petani menjadi kelompok paling dirugikan, yang dipaksa bersaing dengan produk luar negeri yang jauh lebih murah, tanpa subsidi atau insentif yang memadai,” lanjutnya.

Vonis Kosmetik dan Pembiaran Sistemik
KRISTISON mengatakan, secara konstitusional sistem ekonomi Indonesia adalah demokrasi ekonomi, bukan kapitalisme. Demokrasi ekonomi menempatkan rakyat sebagai pelaku utama, negara sebagai pengatur aktif, dan koperasi sebagai soko guru ekonomi. Negara berkewajiban melindungi yang lemah, bukan membiarkan digilas pasar.Sayangnya, dalam praktik, indonesia menjauh dari prinsip itu. Akibatnya, Indonesia menjalankan kapitalisme pasar bebas, meski mengaku Pancasialis.

Ia menegakan, vonis terhadap Lembong terjadi di tengah kegagalan negara mengoreksi sistem ekonomi. Jika negara sungguh menjunjung ekonomi Pancasila, seharusnya perombakan menyeluruh terjadi pada sistem distribusi pangan, reformasi agraria, penguatan koperasi, dan nasionalisasi sumber daya vital.

Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Sistem dibiarkan tetap eksploitatif, hanya mengganti wajah pelaku. Yang dihukum individu, bukan struktur. Yang disalahkan teknokrat, bukan ideologi ekonomi yang dijalankan.

“Kapitalisme bukan sekadar model ekonomi, tapi kekuasaan yang menjalar ke kebijakan, hukum, dan budaya. Kita butuh keberanian untuk kembali ke akar ideologi bangsa: ekonomi Pancasila. Negara harus memulihkan fungsinya bukan sebagai regulator pasar, tapi sebagai pengatur dan pelindung rakyat,” katanya.

“Itu berarti menghentikan liberalisasi pangan, memprioritaskan produksi lokal, memulihkan fungsi BUMN sebagai pelayan publik, bukan korporasi laba, dan menempatkan buruh serta petani sebagai subjek, bukan objek pembangunan,” lanjutnya.

Kristison berpandangan, jika negara sungguh ingin kembali pada konstitusi, maka langkah pertama adalah menghentikan dominasi pasar bebas dalam sektor pangan. Kembalikan kontrol atas impor ke lembaga publik yang transparan. Wujudkan BUMN yang benar-benar berpihak kepada pertumbuhan dan layanan ekonomi rakyat kecil.

Lebih penting lagi, bangun ulang sistem distribusi dan produksi yang berdasar pada ekonomi Pancasila, bukan sekadar slogan, tapi sistem yang melibatkan koperasi, melindungi produksi lokal, dan menolak eksploitasi oleh segelintir elit pasar.

“Tanpa itu, vonis seperti pada Thomas Lembong hanyalah teater politik, yang menipu publik seolah hukum ditegakkan, padahal yang sebenarnya terjadi kapitalisme tetap berjaya, rakyat tetap jadi korban. Kalau tidak vonis Lembong hanyalah topeng: ilusi keadilan dalam negara yang makin tunduk pada logika pasar dan makin menjauh dari keadilan sosial,” pungkansya. (*/top/Tribun-Medan.com)

Sumber:


Lainnya

Sabtu, 02 Agustus 2025

DALAM forum The 28th St Petersburg International Economic Forum (SPIEF 2025) Presiden Prabowo Subianto berpidato: &ldquo

Rabu, 30 Juli 2025

PRESIDEN Prabowo Subianto dalam pidatonya pada 20 Juli 2025 menyampaikan bahwa Indonesia mengalami surplus beras yang be

Sabtu, 19 Juli 2025

INDONESIA tidak dilahirkan sebagai monarki, tapi dalam bentuk republik. Pilihan yang diambil pada 18 Agustus 1945, pilih

Rabu, 02 Juli 2025

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN – Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon pada 14 Juni yang menyatakan “tidak ada bu

Selasa, 01 Juli 2025

SEMUA urusan mesti uang tunai. Kalimat yang sering digunakan untuk menjelaskan singkatan dari Sumut yang seharusnya adal