Tenggelamnya Pancasila dalam Slogan
Rabu, 01 Juni 2022
PERINGATAN 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila, yang merupakan dasar negara dan pandangan hidup bangsa, seharusnya benar–benar menjadi momentum untuk merefleksikan kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai bangunan jiwa dan kepribadian masyarakat serta tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kelahiran Pancasila dimulai pada sidang hari ketiga Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yaitu pada tanggal 1 Juni 1945 dalam pidato Presiden Soekarno. Sidang BPUPKI untuk menentukan dasar negara sebagai konsesus bersama sebuah bangsa,
Presiden Soekarno mengusulkan lima sila (aturan yang melatarbelakangi perilaku seseorang atau bangsa; 2 kelakuan atau perbuatan yang menurut adab (sopan santun); 3 dasar; adab; akhlak; moral – KBBI ) untuk menjadi dasar negara.
Lima sila dari intisari berbagai nilai tradisi, adat dan budaya masyarakat untuk menjadi landasan tata kehidupan masyarakat, dan akhirnya disetujui serta disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), serta ditetapkan pada 18 Agustus 1945 bersama UUD 1945.
Dengan termaktubnya Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 secara yuridis konstitusional menjadikannya sebagai dasar negara, sehingga secara otomatis menjadikan Pancasila menjadi norma dasar yang bersifat imperatif, mengikat, dan memaksa semua penyelenggara negara dan masyarakat untuk melaksanakannya.
Sebagai filsafat, Pancasila merupakan cermin dari nilai dan pandangan dasar masyarakat dalam hubungannya dengan sumber kehidupan, yakni Tuhan, yang membuat asas ketuhanan menjadi sangat fundamental dalam membangun kepribadian bangsa yang teisme religius.
Asas atau sila Ketuhanan yang kemudian menjadi akar dari empat sila berikutnya, yakni sila Kemanusian, Keadilan, Musyawarah dan Persatuan, sebagai seperangkat nilai dan cita-cita kehidupan ekonomi, politik dan budaya yang bertujuan pada kesejahteraan umum.
Dalam buku pengertian Pancasila (1989), Bung Hatta menjelaskan, Pancasila memiliki dua dimensi, yakni dimensi politik yang berisi nilai politik kebangsaan, seperti nasionalisme, kemanusiaan, kerakyatan, dan kesejahteraan sosial, yang menjadi tugas pokok sebagai dasar negara, sedangkan dimensi kedua yakni dimensi etis yang berisi Ketuhanan yang mengartikan bahwa seluruh dimensi pertama dibangun berbasiskan moralitas Ketuhanan.
Tenggelamnya Pancasila
Secara yuridis konstitusional, Pancasila menjadi dasar dan pandangan hidup bangsa dan negara, namun melihat perkembangan kehidupan dalam penyelenggaran negara, penegakkan hukum, perilaku bisnis hingga kehidupan sosial, Pancasila seperti tenggelam dalam tulisan spanduk, emblem baju, hingga slogan hampa tanpa makna.
Sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan yang maha Esa”, secara prinsip memiliki pengertian keyakinan masyarakat terhadap keberadaan Tuhan sebagai sumber kehidupan, sehinggga setiap orang dilindungi haknya oleh negara untuk memeluk dan menjalankan keyakinannya dengan menjujung tinggi penghormatantanpa diskriminasi.
Namun sayangnya prinsip ini seolah tenggelam oleh berbagai sikap merasa paling benar dan paling suci antar umat beragama bahkan antar golongan, dan memandang rendah keyakinan golongan atau agama lainnya, yang bermuara pada menurunnya sikap toleransi padasesama, fanatisme yang bersifat anarki, pelarangan pembangunan rumah ibadah dan lainnya.
Belum lagi jika melihat media sosial yang banyak memuat berbagai provokasi saling merendahkan antar golongan dan agama lainnya, seperti membangun garis demarkasi berdasarkan keyakinan dan tata ibadahnya, padahal dalam berbagai agama atau jika melihat isi dari 10 perintah Tuhan kepada Nabi Musa yang dipercaya agama berlatar samawi, adalah larangan perlakuan tidak adil pada sesama manusia.
Asas Ketuhanan sebagai akar dari Pancasila secara praktek adalah pondasi dari sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, dengan pengertian sebagai manusia yang ber-Tuhan, seharusnya memiliki sikap dan perilaku yang menghargai, menghormati dan melindungi sesama manusia sebagai ciptaan Tuhan. Sehingga praktek pembayaran upah buruh yang sangat murah dengan alasan lapangan pekerjaan tidak sebanding dengan banyaknya jumlah pencari kerja, hingga penggusuran masyarakat dari lahan yang dikelola secara turun temurun dengan dalih tanah negara,tanpa sepengetahuan dan persetujuan masyarakat berdasarkan legitimasi dari negara seperti HGU dan lainnya, merupakan penyimpangan Pancasila.
Termasuk maraknya praktek korupsi dalam penyelenggaran negara, dimana hak masyarakat untuk memperoleh fasilitas layanan pendidikan, kesehatan, infrastruktur hingga ekonomi justru menjadi bancakan, yang kemudian membuat kualitas layanan dan infrastruktur yang seharusnya menjadi hak publik tidak bisa terealisasi dengan baik.
Sudah sangat umum masyarakat melihat, mendengar dan membaca runtuhnya bangunan sekolah dan tidak layak, jembatan roboh dan jalan berlubang, belum lagi mahalnya harga kebutuhan pokok, biaya sekolah dan biaya kesehatan, hingga bantuan bencana dan sosial yang tidak tepat sasaran, padahal jika mengacu pada aturan keuangan negara seluruh anggaran pembangunan dan gaji penyelenggara negara berasal dari pajak masyarakat.
Berbagai perilaku koruptif sejatinya juga telah menenggelamkan, sila keempat yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan“.
Karena pelaksaanaan sila keempat, adalah pengikat seluruh penyelenggara negara untuk mengutamakan kepentingan dan melibatkan masyarakat dalam berbagai penyusunan, pelaksanaan dan pengawasan peraturan dan kebijakan, terutama ketika menyangkut hajat hidup umum.
Akibat dari perilaku koruptif, manipulatif dan pragmatis secara terus menerus dalam berbagai instasi penyelengara negara, dengan sendirinya akan membuat Sila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia“yang bermakna semua masyarakat memiliki kehidupan yang adil dan makmur, serta setara secara hak dan hukum tanpa perbedaan menjadi tenggelam.
Maka dengan sendirinya akan menyulitkan pelaksanaan sila “ Persatuan Indonesia” sebab kunci utama dari persatuan adalah terwujudnya Kemanusiaan, Keadilan dan Muswaywarah sebagai buah dari Ketuhanan.
Mempraktekkan Pancasila
Sejak lahir Indonesia merupakan bangsa majemuk dengan beragam perbedaan dalam kandungannya, penghormatan terhadap nilai kejujuran, pengabdian dan kepentingan umum dalam bingkai pluralitas sudah seharusnya menjadi garis jelas dari praktek kehidupan Pancasila.
Proses pergeseran Pancasila yang menjadi dasar negara secara yuridis konstitusional, yang selama ini seolah terhenti pada slogan dan emblem, sudah seharusnya digeser pada perilaku atau praktek, yang dimulai dari para pemimpin lokal dan nasional serta para penegak hukum sebagai role modeluntukmasyarakat.
Salah satu persoalan terbesar dari tenggelamnya pelaksanaan Pancasila adalah kekosongan contoh dan teladan,bagaimana praktek kehidupan Pancasila, karena perilaku korupsi yang merusak semua sendi kehidupan,sangat masif dilakukan oleh hampir semua instansi penyelenggara negara.
Karena Pancasila tentunya tidak mungkin hidup dengan mistifikasi“Pancasila Sakti”, “Pancasila Kuat” atau “Pancasila Pemersatu”, tanpa pernah ada internalisasi pengalaman dan teladan pelaksanaan dari lima sila yang tertuang didalamnya.
Dalam peringatan tahun ini, seharusnya menjadi momentum bagi semua pihak untuk membangun pengalaman dan teladan pancasila melalui internalisasi kebijakaan, pelaksanaan, pengawasan dan penegakkan hukum yang sejujur – jujurnya, sebagai cermin wajah pancasila bagi masyarakat.
Termasuk merevolusi kurikulum pendidikan untuklebih mengutamakan penguatan pada pembangunan mental dan karakter yang jujur, menghormati dan berlaku adil pada sesama, sebagai pondasi utama sebelum memasuki kurikulumilmu pengetahuan.