Surplus tapi Mahal, Harga Naik Petani tetap Miskin

Rabu, 30 Juli 2025
Surplus tapi Mahal, Harga Naik Petani tetap Miskin

PRESIDEN Prabowo Subianto dalam pidatonya pada 20 Juli 2025 menyampaikan bahwa Indonesia mengalami surplus beras yang besar, dengan cadangan mencapai 4,2 juta ton.

Menteri Pertanian mengungkapkan data produksi beras Januari-Juli 2025 mencapai 21,76 juta ton, naik 2,83 juta ton atau 14,49 % dari periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Di Sumatera Utara, Bulog mengklaim stok SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) sebesar 82.000 ton siap disalurkan, dan target penyaluran mencapai 77.151 ton.

Namun, kenyataan di pasar menceritakan hal berbeda. Di Medan, beras medium masih dijual antara Rp15.000–Rp17.000/kg, jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp13.500/kg.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar, jika benar surplus, mengapa rakyat tetap membeli dengan harga mahal dan petani tetap hidup dalam tekanan?

Data Sensus Pertanian 2024 menunjukkan bahwa luas lahan pertanian di Indonesia terus menyusut dari 14,11 juta hektare (2016) menjadi hanya 10,05 juta hektare (2024). Di Sumatera Utara, rumah tangga usaha pertanian turun 11,26 persen dalam satu dekade terakhir.

Jumlah petani juga mengalami penurunan. Data BPS (2023) menyebutkan bahwa 40,2 persen petani berusia di atas 55 tahun, sedangkan petani berusia di bawah 35 tahun hanya 21,2 persen. Ini menandakan krisis regenerasi yang serius.

Di Sumut, dari 1.468.161 rumah tangga petani, sebanyak 759.562 tergolong petani gurem—menggarap lahan di bawah 0,5 hektare.
Dengan lahan sekecil itu, tentunya akan sulit mencapai efisiensi ekonomi, tak punya kekuatan tawar, dan hanya mengandalkan musim yang makin tak menentu.

Tren alih fungsi lahan menjadi ancaman laten. Lahan sawah banyak berubah fungsi menjadi perumahan, industri, dan infrastruktur.
Tanpa kebijakan pembatasan yang tegas, menurut Kepala KSP Jenderal Moeldoko, pada 2024 setiap tahun Indonesia kehilangan rata-rata 70.000 hektare sawah.

Surplus tapi Mahal
Di Kota Medan, harga beras medium masih menyentuh Rp 17.000/kg pada akhir Juli 2025. Di Kabupaten Deli Serdang, harga berkisar Rp15.000–Rp15.500/kg.
SPHP memang tersedia, tetapi distribusi tidak merata dan gagal menurunkan harga secara signifikan di pasar tradisional.
Rakyat kecil membeli beras eceran 1–2 kg karena tak mampu membeli dalam jumlah besar. Efeknya, harga per kilogram yang dibayar lebih mahal.

Pedagang mengaku sulit mendapatkan pasokan SPHP dari distributor utama karena harus bersaing dengan pengecer besar.
Harga gabah kering panen (GKP) yang diterima petani hanya sekitar Rp.5.800–Rp.6.500/kg, sementara biaya produksi terus naik.

Petani di beberapa kabupaten di Sumatera Utara mengeluhkan biaya pupuk dan sewa lahan yang tak sebanding dengan pendapatan panen yang menyebabkan banyak yang beralih menjadi buruh tani atau pekerja non-pertanian.

Perbedaan mencolok antara harga GKP dan harga beras eceran menunjukkan rantai distribusi yang dikuasai segelintir pemain besar. Petani menjual murah, konsumen membeli mahal—di antaranya terdapat struktur pasar yang tidak adil.

Klaim surplus seringkali bersandar pada data administratif dan logistik pusat, tanpa mencerminkan distribusi spasial dan kemampuan akses rakyat.
Ada perbedaan antara stok nasional dan akses lokal. Rakyat tak makan beras dari gudang Bulog, tapi dari pasar yang tak terjangkau oleh SPHP.

Fakta di Sumut dan Medan membuktikan bahwa surplus nasional belum berarti stabilitas harga di daerah. Tanpa tata niaga yang adil dan sistem distribusi yang efisien, surplus hanya jadi ilusi yang menutupi realitas penderitaan petani dan konsumen.

Kebijakan pangan selama ini terlalu terpusat, bersandar pada impor sebagai solusi cepat, dan minim keberpihakan kepada petani kecil. Padahal, jika distribusi dan tata niaga beras dibenahi, Indonesia tidak perlu bergantung pada impor saat panen.

Langkah seperti peremajaan petani, dukungan pembiayaan koperasi tani, serta pembentukan lumbung pangan lokal diabaikan.
Petani terus dipaksa menanggung risiko iklim, harga, dan teknologi—sementara keuntungan hilang di tingkat penggilingan dan distributor besar.

Ketahanan Pangan Berbasis Realita
Berkaca dari kondisi diatas maka perlu pembenahan pada multisektor seperti, Reformasi Tata Niaga Beras, Pemerintah harus mengatur harga dan distribusi beras dengan melibatkan koperasi dan BUMDes agar SPHP menjangkau pasar tradisional.

Ketegasan untuk Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan (PLPBK) dengan memastikan berjalannya larangan alih fungsi lahan produktif, dan setiap desa wajib mengidentifikasi dan melindungi lahan pertanian berkelanjutan.

Pembenahan pada pola subsidi, yang dirancang untuk langsung untuk petani, yaitu subsidi pupuk, benih, dan alat pertanian, harus diarahkan pada petani gurem berbasis data by name by address. Data dipastikan akurasinya, bukan hasil kongkalikong.

Kemudian, membangun rantai pasok petani lokal, dengan memfasilitasi penggilingan milik petani (RMU), gudang lokal, dan kemitraan dagang agar nilai tambah tetap di desa.

Selain itu, menyiapkan regenerasi petani dengan insentif Khusus, seperti beasiswa, lahan garapan, dan akses modal bagi pemuda desa agar bertani menjadi profesi yang menarik dan layak.

Juga dilakukan revisi mekanisme SPHP, supaya SPHP jangan hanya dijual di ritel modern, tetapi wajib masuk pasar rakyat, warung kelontong, dan outlet komunitas.
Jika surplus, lalu mengapa rakyat tetap menangis saat ke pasar? Jika harga terus naik, mengapa petani tetap miskin? Jika kita terus meninabobokan diri dengan data makro, ketahanan pangan hanyalah mitos.

Pangan adalah hak, bukan komoditas elite. Saat Soekarno berkata,“Bangsa yang tidak bisa memberi makan rakyatnya sendiri, tidak pantas disebut merdeka”, itu bukan sekadar kutipan, tetapi peringatan.

Kini saatnya bergerak dari surplus statistik menuju ketahanan pangan berbasis realita. Agar petani bangga bertani, dan rakyat tak menangis di dapur karena harga beras.

Penulis Penggiat HAM dan Demokrasi

Sumber:


Lainnya

Sabtu, 02 Agustus 2025

DALAM forum The 28th St Petersburg International Economic Forum (SPIEF 2025) Presiden Prabowo Subianto berpidato: &ldquo

Senin, 21 Juli 2025

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN – Pegiat HAM dan Demokrasi, Kristian Redison Simarmata berpendapat, vonis 4,5 tahun terha

Sabtu, 19 Juli 2025

INDONESIA tidak dilahirkan sebagai monarki, tapi dalam bentuk republik. Pilihan yang diambil pada 18 Agustus 1945, pilih

Rabu, 02 Juli 2025

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN – Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon pada 14 Juni yang menyatakan “tidak ada bu

Selasa, 01 Juli 2025

SEMUA urusan mesti uang tunai. Kalimat yang sering digunakan untuk menjelaskan singkatan dari Sumut yang seharusnya adal