Sumpah Pemuda dan Kedaulatan Industri
Selasa, 28 Oktober 2025
Penulis Direktur SMI
TANGGAL 28 Oktober 1928 selalu dikenang sebagai momentum sejarah yang meneguhkan tekad para pemuda Indonesia untuk bersatu dalam bahasa, tanah air dan bangsa, sumpah tentang kemandirian, tentang bangsa yang berdiri di atas kaki sendiri.
Dalam abad ke-21, makna itu harus diperluas. Kemandirian yang tidak hanya diukur dari kesatuan bahasa dan identitas, tetapi juga dari kemampuan menghasilkan produk, teknologi dan inovasi yang membuat negara mampu berdikari dalam peta ekonomi global.
Sayangnya, ketika jumlah sarjana dan pemuda terdidik terus bertambah, tetapi kemampuan mencipta dan menggerakkan ekonomi produktif semakin tertutup, karena menghadapi masalah deindustrialisasi.
Dominasi impor dan melemahnya produksi nasional Indonesia mengalami deindustrialisasi yang mengkhawatirkan. Data BPS menunjukkan kontribusi industri manufaktur terhadap PDB turun drastis. Dari 29 persen pada 1997 menjadi sekitar 18 persen pada 2023.
Sementara sektor jasa, informalitas dan konsumsi impor mendominasi, meninggalkan ruang kecil bagi industri nasional untuk tumbuh. Fenomena yang bukan sekadar penurunan angka, namun menghancurkan peluang lapangan kerja produktif bagi generasi muda.
Lulusan perguruan tinggi, terutama teknik dan sains, banyak yang terjebak pada pekerjaan jasa, seperti logistik, pemasaran digital atau sektor informal lainnya. Karena peluang untuk menjadi insinyur, peneliti atau entrepreneur teknologi praktis hampir tertutup.
Deindustrialisasi juga berimplikasi pada hilangnya ruang kreatifitas dan inovasi di saat pabrik dan laboratorium produksi hanya menjadi perakitan lisensi asing, sehingga lulusan teknik tidak punya kesempatan untuk menguji gagasannya di dunia nyata.
Teknologi nasional stagnan. Produk seperti, sepeda motor, alat makan, televisi didominasi produk impor, karena desain kebijakan ekonomi yang membiarkan pasar asing mendominasi dan mematikan inisiatif nasional.
Membunuh Industri Dalam Negeri
Dunia pendidikan terus mencetak sarjana dalam jumlah besar, tetapi sayangnya lebih fokus pada pencapaian akademik yang sering berhenti pada teori dan bukan keterampilan praktis yang dibutuhkan industri.
Sedangkan laboratorium dan fasilitas yang dapat menghasilkan produk nyata terbatas. Akibatnya, pemuda keluar dari bangku kuliah dengan ijazah tanpa pengalaman membangun atau memproduksi sesuatu yang bernilai ekonomi nyata.
Terjadi ketergantungan pada impor karena inovasi dan produksi tidak pernah mengalir dari kampus ke industri. Justru yang muncul adalah wajah kesenjangan antara pendidikan dan industri serta mindset para lulusan sarjana.
Yang cenderung melihat sektor informal sebagai lapangan kerja terbuka, startup digital, e-commerce dan layanan jasa, tanpa menciptakan nilai tambah produksi pada kedaulatan teknologi nasional.
Dengan kesempatan kerja formal produktif sangat terbatas, pendidikan seolah gagal menautkan ilmu ke produksi nyata, membuat Indonesia memiliki banyak sarjana, tetapi sedikit inovator yang menghasilkan teknologi atau produk yang kompetitif secara global.
Sektor informal memang menyediakan ruang bertahan hidup, tetapi tidak membangun kapasitas atau kedaulatan industri. Situasi yang menciptakan ekosistem ekonomi yang rapuh. Generasi muda menjadi tenaga kerja jasa murah, sementara negara tergantung pada impor barang jadi.
Iklim usaha yang tidak kondusif untuk eksperimen dan pengembangan teknologi, pajak tinggi, prosedur perizinan berlapis dan risiko regulasi yang tidak pasti, membuat industri lokal kesulitan bersaing dengan produk impor yang masuk lebih cepat dan murah.
Bahkan peralatan makan untuk program MBG yang dimpor dari Cina menunjukkan kebijakan yang kontraproduktif, karena produksi serupa sangat mungkin dilakukan oleh industri dalam negeri, dengan mendorong standar kualitas, teknologi dan akses bagi produsen lokal untuk membuat produk yang sama.
Adalah wajah kebijakan yang cenderung mengarah pada liberalisasi pasar dan impor produk jadi tanpa proteksi dan insentif untuk industri lokal terbatas, serta membunuh secara perlahan sector manufaktur kecil dan menengah.
Lemahnya keamanan dan proteksi hukum yang minim membuat pemuda inovator ragu untuk menginvestasikan tenaga dan modal untuk menciptakan produk lokal, yang ahirnya memperkuat ketergantungan pada impor dan melemahkan kapasitas produksi nasional serta memperkecil ruang bagi inovasi teknologi lokal.
Gambaran yang menjadi bukti nyata minimnya kebijakan strategis untuk menghidupkan industri domestik, sekaligus kehilangan peluang mencipta lapangan kerja dan nilai tambah bahan mentah, sehingga jaringan oligarki menguasai impor dan distribusi barang jadi.
Tertutupnya ruang inovasi, eksperimen teknologi dan kreativitas industri karena tidak ada insentif atau dukungan struktural, sumpah pemuda yang dulu memaknai kemandirian, kini menghadapi ujian serius, apakah akan menjadi bangsa konsumen atau pencipta?
Reindustrialisasi untuk Kedaulatan Negeri
Indonesia harus merubah kebijakan pada reindustrialisasi yang bersifat transformatif, bukan kebijakan tambal sulam, dengan meluncurkan agenda industrialisasi strategis, melalui penetapan prioritas industri teknologi yang kritikal.
Terutama otomotif, elektronik, alat kesehatan dan energi terbarukan dengan membangun fasilitas produksi yang dikaitkan dengan lembaga pendidikan dan riset sehingga lulusan sarjana memiliki pengalaman dalam produksi dan inovasi.
Sehingga kampus tidak lagi menjadi pencetak ijazah semata, tetapi menjadi pusat inovasi yang menyuplai industri dengan talenta siap pakai, pemuda harus dibiasakan membangun produk, bukan hanya menulis skripsi atau jurnal ilmiah.
Negara harus didorong sebagai fasilitator dan katalis, dengan memastikan modal, teknologi dan pasar tersedia bagi inovasi, melalui kebijakan fiskal dan regulasi yang diarahkan untuk mendorong industri lokal.
Terutama insentif pajak untuk riset dan pengembangan, perlindungan terhadap produk nasional dari kompetisi tidak sehat impor dan kewajiban transfer teknologi bagi perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia.
Mendorong program ekosistem startup produktif, bukan sekadar sektor digital jasa, dengan menciptakan teknologi industri yang memfasilitasi prototipe, produksi massal dan pengujian produk baru di dalam negeri, untuk menumbuhkan budaya eksperimen, mengurangi dominasi impor dan memperkuat kemandirian teknologi.
Karena bangsa yang kehilangan kapasitas produksi dan teknologi akan terus terjebak sebagai konsumen dan buruh murah dalam pasar global, maka reindustrialisasi strategis dan kedaulatan teknologi bukan pilihan, melainkan kewajiban moral dan politik.
Semangat Sumpah Pemuda adalah bersatu sebagai bangsa yang mandiri, harus diterjemahkan ke dalam kemampuan memproduksi dan menguasai teknologi, kebanggaan karena menciptakan, bukan hanya menjadi konsumen produk asing.
Kedaulatan industri adalah perpanjangan logis dari kedaulatan bangsa yang dulu dicita-citakan pada 28 Oktober 1928. Bukan hanya dikenang sebagai momen sejarah, namun menjadi tonggak kebangkitan bangsa yang mandiri dan berdaulat dengan menciptakan sistem yang memungkinkan pemuda menjalankan potensinya.