Soeharto, Gelar Pahlawan Berjubah Luka
Sabtu, 08 November 2025
Penulis Direktur Eksekutif SMI
RENCANA pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto selalu melahirkan perdebatan. Bagi sebagian masyarakat mantan Presiden ke-2 RI itu dianggap sebagai “Bapak Pembangunan” yang membawa stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan bagi korban kekerasan politik, aktivis dan keluarga korban pelanggaran HAM identik dengan represi, penjara dan pembungkaman
Perdebatan bukan hanya tentang satu nama, tetapi arah arah moral bangsa, apakah sejarah ditulis dengan nurani atau dengan kalkulasi politik.
Karena gelar pahlawan seharusnya adalah anugerah dan pengakuan tertinggi pada pengorbanan dan pengabdian. Namun, kini anugerah gelar terlihat seperti pusaran kepentingan politik dan pertanyaannya, apakah bangsa ini sedang meneguhkan keteladanan atau sedang menutupi luka dengan seremonial penghargaan?
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2009, pemberian gelar pahlawan nasional dengan persyaratan, di antaranya harus memiliki jasa luar biasa bagi negara, tidak pernah berkhianat, berkelakuan baik dan tidak tercela secara moral.
Gelar yang bukan hadiah politik, melainkan simbol moral tertinggi yang mewakili keberanian, pengorbanan dan integritas. Namun dalam praktiknya penghargaan negara semakin kehilangan makna sebagai simbol moral dan teladan tertinggi.
Bahkan fenomena “obral gelar” dengan banjirnya bintang penghargaan pada pejabat atau tokoh tanpa kejelasan klasifikasi menunjukkan bagaimana penghargaan berubah dari pengakuan moral menjadi alat legitimasi, sehingga simbol kehormatan kehilangan substansinya dan kehilangan standar moralnya.
Terutama ketika seorang penguasa yang otoriter diusulkan menjadi pahlawan, masyarakat berhak bertanya: apakah negara memahami arti “kehormatan”?
Gelar pahlawan tidak seharusnya menjadi alat politik untuk memutihkan masa lalu dan tontonan banalitas penghormatan negara.
Pemberian penghargaan yang mengabaikan luka korban justru memperdalam ketidakadilan. Dalam banyak kasus, penghargaan negara tampak berjarak dari rasa keadilan dan lebih sering menjadi instrumen melupakan daripada mengingat.
Gelar Pahlawan dan Pencuci Luka
Ungkapan “sejarah ditulis oleh para pemenang” menemukan relevansinya. Rezim orde baru selama pemerintahannya berupaya mengendalikan narasi sejarah, menulis buku pelajaran dan menentukan siapa yang layak disebut pahlawan atau pengkhianat.
Dari peristiwa 1965 hingga 1998, negara memonopoli kebenaran dan menutup suara korban. Pemerintahan saat ini kembali berusaha menegaskan legitimasi moralnya melalui simbol kehormatan negara.
Seperti menghadapkan bangsa ini pada dilema: apakah siap menjadi bangsa yang mengampuni tanpa kebenaran, ataukah justru terjebak menjadi bangsa yang lupa karena dibiasakan melupakan?
Mengukuhkan Soeharto sebagai pahlawan berarti menempatkan sejarah dari perspektif penguasa, bukan rakyat. Karena di balik stabilitas yang dibanggakan, terdapat penjarahan sumber daya, pembungkaman oposisi dan hilangnya ribuan nyawa, yang menjadi memori bentuk kekerasan atas nama negara.
Tak dapat disangkal, Soeharto meninggalkan catatan pembangunan ekonomi yang mengesankan, dengan mencatat pertumbuhan ekonomi ±7% pada 1970-1996, swasembada beras dan modernisasi birokrasi.
Catatan pembangunan yang dibayar dengan kebebasan sipil yang tercekik, korupsi sistemik dan ketimpangan sosial yang melebar. Stabilitas pembangunan dijalankan dengan gaya komando militer. Demokrasi dipersempit menjadi loyalitas pada kekuasaan. Partai politik dibonsai, kebebasan pers dibatasi dan oposisi politik disingkirkan.
Di balik statistik keberhasilan, tersimpan berbagai cerita penderitaan yang jarang masuk buku sejarah, yakni peristiwa Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, pembunuhan misterius (Petrus) awal 1980-an, serta kekerasan menjelang kejatuhan Soeharto pada Mei 1998.
Bahkan lembaga internasional mencatat ±10 ribu orang hilang atau tewas dalam operasi militer di Aceh, Timor Timur dan Papua. Soeharto juga diduga memperkaya diri dan keluarganya, sehingga menjadi diktator korup di dunia versi Transparency International.
Hingga kini, korban pelanggaran belum mendapatkan pemulihan yang layak. Keluarga korban 1996-1998 masih menuntut kebenaran. Korban Tanjung Priok, Talangsari dan Petrus menunggu pengakuan negara, sementara konflik agraria akibat perampasan lahan pasca tragedi 1965 masih jadi problema.
Para korban adalah bagian dari bangsa ini, tetapi suaranya sangat jarang terdengar di ruang kekuasaan. Negara justru seolah menormalisasi pelaku dengan simbol kehormatan, penghargaan yang bukan hanya kontroversi, tapi bentuk pengingkaran terhadap keadilan.
Negara seharusnya berdiri di sisi korban, bukan di sisi pelaku, karena keadilan bukan berarti membalas, tetapi menegakkan kebenaran agar generasi mendatang tidak hidup dalam kebohongan.
Memberi gelar pahlawan kepada figur yang menyisakan catatan pelanggaran berat adalah bentuk impunitas simbolik, yang memberi pesan berbahaya bahwa kekuasaan dapat menebus dosa dengan prestasi.
Ketika kejahatan negara tidak pernah diadili dan pelaku justru dijadikan teladan, bangsa kehilangan kompas moral, praktek impunitas yang tidak hanya melindungi pelaku masa lalu, tetapi juga menciptakan iklim permisif bagi penyalahgunaan kekuasaan.
Pola yang nyaris serupa dalam praktik korupsi, penegakan hukum yang tumpul ke atas dan kekerasan aparat terhadap warga sipil, semua berakar pada satu hal, negara gagal menegakkan prinsip pertanggungjawaban.
Karena negara seperti melupakan kejahatannya untuk membangun fondasi bagi legitimasi pengulangan sejarah. Seperti pengampunan praktek korupsi dengan “pengembalian uang” tanpa proses pengadilan adalah pelupaan yang disengaja.
Pahlawan sejatinya bukan yang berjasa karena kekuasaan, tetapi yang mempertaruhkan kekuasaan demi rakyat, bukan yang menang dalam politik, melainkan yang menang atas dirinya sendiri, yang menjadi jembatan antara negara dan nurani, maka gelar pahlawan bukan sebagai alat pencuci dosa masa lalu.
Kematangan Moral dari Kejujuran Pada Luka Sejarah
Menolak pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bukan berarti menolak rekonsiliasi atau jasanya, justru merupakan langkah untuk memastikan rekonsiliasi berdiri di atas kebenaran, karena pengakuan atas kesalahan adalah awal dari penyembuhan.
Pemerintah seharusnya membuka dan memberi ruang bagi korban untuk bersuara, agar sejarah tersusun dengan segala kompleksitas masa lalu, bukan hanya narasi tunggal pembangunan, sehingga penghargaan negara mengajarkan integritas dan teladan moral.
Karena keadilan bukan sekadar hukum, melainkan keberanian untuk berkata jujur tentang masa lalu. Kejujuran yang menjadi fondasi kepahlawanan sejati.
Bangsa yang besar adalah tidak sekadar menghormati pahlawannya, tetapi lebih besar lagi bangsa yang berani mengakui kesalahannya.
Soeharto akan selalu dikenang sebagai bagian penting sejarah Indonesia, tetapi sejarah tidak menuntut untuk memujanya, namun menuntut untuk belajar, bukan mengaburkan garis antara pelaku dan korban, antara kekuasaan dan moralitas.
Jika bangsa ini benar ingin maju dalam kematangan moral, maka gelar pahlawan harus dikembalikan pada maknanya yang luhur, bukan sebagai alat politik, tetapi sebagai pondasi nurani bangsa. Pahlawan sejati bukan mereka yang memenangkan sejarah, melainkan mereka yang menjaga kemanusiaan di tengah kekuasaannya.