Sesat Pikir Memaafkan Koruptor
Senin, 23 Desember 2024
PERNYATAAN pemerintah melalui Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan yang berencana memaafkan koruptor dengan syarat mengembalikan uang yang dikorupsi atau dicuri tentunya melahirkan pertanyaan besar terhadap kerangka berpikir pemerintah sebagai pengelola negara dalam keseriusannya untuk memberantas korupsi dan menjunjung tinggi penegakan hukum kedepannya
Memaafkan koruptor dengan syarat mengembalikan uang negara yang dikorupsi jelas sangat berbahaya dan berisiko tinggi. Memaafkan koruptor sama saja dengan menurunkan kualitas kejahatan korupsi dari luar biasa ( extra ordinary ) ke level maling biasa yang mencuri untuk kebutuhan makan
Sedangkan tanpa adanya proses memaafkan koruptor selama ini saja, tidak ada efek jera yang terjadi dan korupsi berjalan dengan sangat massif di berbagai instansi baik pemerintahan, hukum dan pendidikan dari level nasional hingga lokal, yang merupakan cerminan dari wajah tata kelola pemerintahan dalam bernegara ditengah tengah masyarakat
Syarat mengembalikan uang negara yang dikorupsi juga melahirkan pertanyaan siapa yang bisa menjamin uang negara akan dikembalikan sepenuhnya oleh koruptor sesuai dengan jumlah kerugian secara keseluruhan kepada negara
Justru kebijakan jika ini diberlakukan kemungkinan bisa menjadi insentif atau pendorong praktik korupsi yang lebih massif karena munculnya pemikiran, bahwa kalaupun ketahuan melakukan korupsi akan mendapatkan hukuman yang ringan dengan adanya pengampunan melalui pengembalian uang negara yang dikorupsi. Jika tidak ketahuan akan dilanjutkan secara terus menerus dengan asumsi yang dikembalikan hanya yang ketahuan saja
Jika kebijakan memaafkan koruptor nanti diterapkan oleh pemerintah, ini sama saja dengan mengkhianati cita-cita reformasi yang melahirkan UU No 31 Tahun 1999 juncto UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi yang muncul dari kegelisahan maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di era sebelum reformasi
Kebijakan memaafkan koruptor ini juga akan akan menyebabkan semakin merosotnya kepercayaan dan harapan masyarakat kepada institusi negara dengan seluruh perangkat hukumnya.
Yang paling berbahaya akan berpotensi melahirkan apatisme masyarakat terhadap penegakan hukum yang bisa merembet apatisme terhadap negara.
Pikiran liar terkait rencana memaafkan koruptor dengan syarat mengembalikan uang negara yang dikorupsi bisa juga melahirkan opini di tengah masyarakat bahwa langkah ini diambil untuk melindungi para elite politik, pejabat publik, birokrasi hingga dunia usaha yang terindikasi melakukan berbagai tindak pidana korupsi yang merugikan negara selama ini untuk mengambil langkah "pemutihan dosa korupsi" melalui pengembalian uang kerugian negara dengan diam-diam tanpa pertanggungjawaban terhadap kesalahan dan tidak terpantau oleh masyarakat
Masyarakat yang secara otomatis menjadi korban dari korupsi akan merasakan ketidakadilan serta ketidaksetaraan dalam akses, perlakuan dan pelaksanaan hukum, karena disadari bahwa korupsi adalah praktek utama yang menghambat pembangunan dan memperburuk kualitas layanan publik akibat massifnya praktek suap menyuap untuk memperoleh layanan dalam urusan administrasi hingga layanan publik, seperti kesehatan, pendidikan hingga perlindungan ekonomi dan sosial
Daripada memaafkan koruptor dengan syarat mengembalikan uang negara yang di korupsi, lebih baik pemerintahan Presiden Prabowo Subianto fokus pada langkah memperbaharui secara besar-besaran terlebih dahulu terhadap institusi penegak hukum beserta aparaturnya dengan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap perilaku penegakan hukum hingga menerapkan meritokrasi jabatan berdasarkan kualitas dan prestasi, hingga memastikan tidak ada peluang jabatan bagi aparatur yang terindikasi melakukan KKN untuk memperbaiki kepercayaan diri aparatur hukum itu sendiri dan kepercayaan masyarakat terhadap kualitas kinerjanya
Kemudian memastikan proses pengesahan UU perampasan aset, dengan menitikberatkan pada proses identifikasi dan perampasan aset koruptor yang ada di dalam serta luar negeri.
Termasuk melakukan evaluasi praktek pemberian "pengampunan pajak" kepada perusahaan perusahaan tambang dan perkebunan yang jelas mengeruk hingga berpotensi merusak lingkungan dan merusak kehidupan masyarakat disekitar lokasi pertambangan
Seperti kegelisahan Presiden Prabowo Subianto sendiri dalam bukunya yang berjudul " Paradoks Indonesia " yang menuliskan bahwa korupsi di Indonesia telah menjadi masalah sistemik yang mengakar diberbagai sektor pemerintahan, lembaga dan dunia usaha, serta merupakan penghambat terbesar untuk melahirkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan efektif
Presiden Prabowo Subianto dalam bukunya tersebut juga menegaskan bahwa korupsi memainkan peran besar dalam eksploitasi sumber daya alam dengan banyaknya pejabat atau pihak tertentu yang mengutamakan keuntungan pribadi atau kelompok, sehingga kekayaan sumber daya alam serta negara tidak memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia.