Negara Gagap Bencana dan Derita Korban

Sabtu, 13 Desember 2025
Negara Gagap Bencana dan Derita Korban

Penuli Direktur Eksekutif SMI

NEGARA kembali terlihat gagap menghadapi bencana yang sudah berlangsung lebih dari dua minggu. Waktu bergerak cepat di lapangan, namun respons pemerintah seolah berjalan lambat dan tertatih.

Hingga kini, banyak jalan penghubung antar kecamatan dan desa masih terputus. Rumah warga terkubur lumpur yang mengeras, sementara proses pembersihan mustahil diselesaikan dengan tenaga manual tanpa dukungan eskavator, loader, dan dump truck dalam jumlah besar.

Kebutuhan alat berat jauh lebih besar daripada yang tersedia. BNPB menyebutkan, setiap titik longsor dengan material padat membutuhkan setidaknya dua unit alat berat dan satu unit alat angkut. Namun di Sumatera Utara, titik kritis longsor tersebar di lebih dari 40 lokasi dengan material massif.

Sedimentasi sungai bahkan mencapai 60 persen akibat lumpur, batu, dan kayu tebangan. Sejumlah alur sungai berubah arah menuju permukiman penduduk, menempatkan warga pada risiko banjir susulan karena jalur sungai hilang atau tersumbat.

Akar Masalah: Kegagalan Mitigasi dan Kebijakan yang Mengabaikan Risiko
Situasi ini bukan hanya akibat bencana alam, tetapi juga akumulasi kebijakan yang selama bertahun-tahun mengabaikan mitigasi struktural jangka panjang. Sungai tidak dinormalisasi secara rutin, tebing tidak diperkuat, dan zona rawan tidak ditata ulang. Bencana besar hanya menunggu momentum.

Efisiensi anggaran yang dipaksakan pemerintah pusat tahun ini memperburuk keadaan. Pemerintah daerah kesulitan merespons kebutuhan lapangan yang mendesak, padahal kemampuan keuangan daerah sangat menentukan kecepatan penanganan bencana.

Perpanjangan masa tanggap darurat yang dilakukan pemerintah juga tidak disertai target operasional harian yang jelas—berapa kilometer jalan dibuka, berapa titik longsor diselesaikan, atau berapa desa kembali terhubung. Semua terhambat oleh jumlah alat berat yang sangat terbatas.

Pemerintah provinsi pun bergerak lambat setelah pemangkasan Biaya Tidak Terduga (BTT) dalam APBD Perubahan, yang semestinya menjadi pos utama pada kondisi krisis.

Harga Diri Negara dan Derita Warga
Gagapnya penanganan bencana memperlihatkan buruknya proses pembelajaran institusional. Setiap bencana seakan berdiri sendiri, tanpa evaluasi yang memadai.

Pemerintah pusat aktif di ranah simbolik, tetapi pasif pada tindakan struktural. Kunjungan pejabat membawa sembako memang membantu secara singkat, namun tidak menjawab persoalan utama: pemulihan akses, logistik, dan mobilitas.

Warga tidak hanya membutuhkan sembako. Mereka membutuhkan kepastian mengenai jalan yang terbuka, air bersih yang tersedia, dan perlindungan dari ancaman banjir berikutnya. Pencitraan di masa krisis hanya mempertebal jarak antara pejabat dan kenyataan di lapangan.

Kapasitas pemerintah daerah menurun tajam akibat efisiensi anggaran. Instansi teknis bekerja dengan sumber daya minimal. Banyak alat berat sudah melewati usia ideal pemakaian, sementara perbaikan memerlukan waktu lama karena suku cadang tidak tersedia.

Beberapa desa tetap terisolasi hingga dua minggu setelah bencana. Warga tidak bisa keluar mencari makanan, sementara logistik hanya dapat masuk melalui jalur darurat yang sempit, licin, dan rawan longsor lanjutan.

Ketika Hak Dasar Warga Tidak Terpenuhi
Hak dasar warga terdampak bencana berada dalam posisi paling rentan. Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi keselamatan, menyediakan bantuan, dan menjamin akses layak selama keadaan darurat.

Keterlambatan membuka jalan, mengirim bantuan, dan mengerahkan alat berat merupakan bentuk kelalaian administratif yang berimplikasi pada pelanggaran hak asasi manusia. Rasa aman tidak bisa dinegosiasikan dalam situasi bencana.

Di sisi lain, penolakan pemerintah terhadap bantuan asing menjadi paradoks besar. Pemerintah menyebut Indonesia mampu menangani sendiri, padahal bantuan asing bukan hanya logistik, melainkan tenaga teknis, alat berat, dan teknologi yang dapat mempercepat pemulihan. Penolakan ini memperpanjang penderitaan warga.

Kontras Narasi Pemerintah dan Realitas Lapangan
Di banyak desa, warga harus berjalan jauh sambil membawa anak kecil hanya untuk mencari sinyal telepon. Ada pula yang membersihkan lumpur setinggi dada dengan sekop dan ember karena tidak ada alat berat masuk. Lumpur yang mengeras bukan hanya melelahkan, tetapi membahayakan kesehatan.

Tim medis kekurangan obat dan peralatan dasar. Penyakit kulit, infeksi pernapasan, dan diare mulai muncul—sebuah pola klasik pasca bencana ketika air bersih terbatas dan lingkungan tercemar.

Seluruh rangkaian ini memperlihatkan bahwa masalah utama bukan besarnya bencana, tetapi lemahnya kapasitas negara dalam merespons secara cepat, tepat, dan menyeluruh. Kecepatan adalah inti penanganan darurat. Negara gagal menghadirkan kecepatan itu.

Wajah Negara Menghadapi Bencana
Ketika negara lambat, warga kehilangan waktu, tenaga, dan harapan. Inilah yang membuat respons gagap lebih berbahaya daripada bencana itu sendiri. Pemulihan yang lambat menciptakan lingkaran kerentanan baru: sungai tersumbat dapat meluap, tebing retak bisa runtuh, desa terisolasi dapat kembali mengalami kelaparan.

Momentum krisis ini seharusnya menjadi titik balik bagi pemerintah pusat dan daerah untuk menata ulang tata kelola penanggulangan bencana. Mitigasi harus menjadi pekerjaan rutin, bukan sekadar reaksi saat bencana datang. Sungai harus dinormalisasi, lereng diperkuat, dan tata ruang harus disesuaikan dengan risiko iklim ekstrem.

Bencana adalah tragedi. Tetapi cara negara meresponsnya menentukan seberapa besar penderitaan harus ditanggung masyarakat. Kelambatan akan melahirkan korban baru.

Di masa krisis, warga tidak meminta banyak. Mereka hanya membutuhkan negara bergerak cepat, berpihak pada keselamatan, dan memberi kepastian bahwa hidup mereka dapat kembali pulih.

Bencana ini menjadi cermin besar bagi kita semua—tentang seberapa siap negara melindungi rakyatnya. Jawabannya tidak terletak pada konferensi pers, tetapi pada jalan yang kembali terbuka, desa yang kembali terhubung, dan sungai yang kembali mengalir tanpa ancaman.

Sumber:


Lainnya

Kamis, 27 November 2025

TertandaKristian Redison SimarmataElfenda AnandaMuhammad Yusuf NasutionPerkumpulan Suluh Muda Inspirasi (SMI) memandang

Rabu, 26 November 2025

Oleh Direktur Eksekutif SMIBANJIR dan longsor yang kembali melanda berbagai daerah di Sumatera Utara menunjukkan bahwa b

Rabu, 26 November 2025

Perkumpulan Suluh Muda Inspirasi (SMI) menyatakan keprihatinan yang sangat mendalam dan kemarahan moral atas rangkaian b

Sabtu, 22 November 2025

Penulis Direktur Eksekutif SMIPENGHARGAAN negara berupa gelar kehormatan dan bintang jasa sejatinya dirancang sebagai be

Sabtu, 15 November 2025

Penulis Badan Pendiri SMIAnggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) seharusnya menjadi instrument utama untuk mewujud