Merekonstruksi Makna Kehormatan dan Kepahlawanan
Sabtu, 22 November 2025
PENGHARGAAN negara berupa gelar kehormatan dan bintang jasa sejatinya dirancang sebagai bentuk penghormatan tertinggi bagi mereka yang mengorbankan hidup, martabat, dan kenyamanan demi kepentingan publik.
Ia adalah pengakuan terhadap keberanian untuk kehilangan, bukan untuk mendapatkan. Namun dalam dinamika politik hari ini, makna tersebut semakin menjauh dari hakikat awalnya.
Pada masa awal republik, para pendiri bangsa tidak pernah bergerak dengan tujuan menjadi pahlawan. Kepahlawanan hadir sebagai konsekuensi moral dari pilihan untuk mempertaruhkan segalanya demi kemerdekaan.
Degradasi nilai ini bukan hanya persoalan administratif, tetapi cermin pergeseran etika dalam kehidupan publik.
Kita dihadapkan pada situasi yang mendesak untuk melihat kembali teladan para tokoh yang pengorbanannya melampaui apa pun yang bisa diberikan negara.
Tiga Pilar Kepahlawanan yang Kian Dilupakan
Sosok seperti Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, Ir Sutami, Kolonel Alex Kawilarang, hingga TB Simatupang merupakan fondasi moral dari nilai-nilai itu.Mereka hidup dalam kesederhanaan, menolak fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, dan menempatkan kehormatan moral jauh di atas prestise administratif.
Keteladanan yang Menjadi Cermin Moral Bangsa
Mohammad Hatta adalah simbol integritas yang tidak dapat dibeli. Ia menolak fasilitas negara untuk kebutuhan keluarga, bahkan enggan menerima bantuan pemerintah setelah tak lagi menjabat.
Haji Agus Salim hidup dalam kesederhanaan ekstrem, menjalankan diplomasi kelas dunia dari rumah kontrakan bocor, dan menolak gratifikasi asing demi menjaga kehormatannya.
Ir Sutami memotong gaji sebagai menteri demi menutup pembiayaan proyek negara. Saat wafat, keluarganya tak mampu membayar biaya rumah sakit—potret pengabdian yang menempatkan negara di atas kepentingan pribadi.
Perintis KOPASSUS Alex Kawilarang memilih mengembalikan seluruh rampasan perang tanpa mengambil sepeser pun, meski keputusan itu menghambat karier militernya.
TB Simatupang bahkan menolak penghargaan negara ketika menurutnya tidak sejalan dengan integritas moral yang ia pegang.Teladan-teladan inilah yang menegaskan bahwa moralitas adalah mata uang paling berharga dalam kehidupan publik.
Degradasi Moral dalam Pemberian Penghargaan
Kembali ke Standar Moral Para Pendiri Bangsa
Setiap anugerah seharusnya menjadi pelajaran moral bagi masyarakat: inilah bentuk pengorbanan sejati. Hanya dengan cara itu penghargaan negara kembali berfungsi sebagai penunjuk arah moral bangsa.
Hatta, Agus Salim, Sutami, Kawilarang, dan Simatupang telah mengajarkan bahwa kepahlawanan bukan soal pujian, tetapi keberanian untuk mempertahankan prinsip meski harus kehilangan banyak hal.
Menghidupkan kembali standar moral itu bukanlah romantisme historis. Ini adalah langkah paling rasional untuk memulihkan kepercayaan publik di tengah kerusakan etika yang mengakar.