Menyoal Permendagri No 77/2020, Geser Anggaran Tanpa Persetujuan DPRD, Jadi Pintu Masuk Korupsi
Selasa, 07 Oktober 2025
Pergeseran alokasi anggaran pendapatan dan belanja daerah atau APBD tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sangat rentan korupsi. Anggaran publik disusun di ruang privat oleh segelintir orang dengan dasar Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 yang diterbitkan saat pandemi Covid-19, tetapi masih berlaku hingga kini.
Mekanisme itu menjadi pintu masuk korupsi, seperti terjadi di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Sumut). Dua proyek pembangunan jalan yang menjerat Kepala Dinas PUPR Sumut Topan Ginting dan empat tersangka lainnya berakar dari pergeseran anggaran APBD Sumut 2025 melalui Permendagri Nomor 77/2020.
Hanya dalam satu hari, anggaran dua proyek pembangunan jalan di Kabupaten Padang Lawas Utara disusun, yakni pembangunan Jalan Sipiongot-Batas Labuhanbatu senilai Rp 96 miliar dan Jalan Hutaimbaru-Sipiongot Rp 61,8 miliar.
”Pergeseran anggaran ini menggunakan Permendagri No 77/2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah. Aturan yang dikeluarkan pada masa pandemi ini harus segera dievaluasi karena saat ini tidak relevan lagi,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan Suluh Muda Inspirasi (SMI) Kristian R Simarmata dalam diskusi kelompok terarah (FGD) di Medan, Senin (6/10/2025).
Sepanjang tahun ini sudah enam kali pergeseran anggaran dilakukan melalui mekanisme persetujuan pergub saja. Empat di antaranya dilakukan Gubernur Sumut Bobby Nasution sejak dilantik pada 20 Februari 2025. Pergeseran anggaran digunakan mengganti istilah Perubahan APBD yang membutuhkan persetujuan DPRD.
Kristian menyebut, kasus korupsi pembangunan dua ruas jalan di Padang Lawas Utara menunjukkan mekanisme itu bermasalah. Fungsi penganggaran dan pengawasan oleh DPRD Sumut ditiadakan.
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Siska Barimbing mengatakan, kasus korupsi di Dinas PUPR Sumut menunjukkan bahwa Permendagri No 77/2020 harus segera dievaluasi. Dengan mekanisme ini, anggaran disusun dan diputuskan di rapat-rapat tertutup oleh segelintir orang saja.
”Pergeseran anggaran (dalam) APBD Sumut yang sudah enam kali dilakukan bahkan tak bisa diakses publik. Hanya ringkasan pergub yang bisa diakses publik,” kata Siska.
Sebelum kepemimpinan Bobby, kata Siska, penjabaran APBD Sumut bisa diakses publik luas. Bahkan, pendapatan dan belanja daerah bisa diakses secara waktu nyata (real time) melalui situs resmi pemerintah. Saat ini, penjabaran anggaran itu tak bisa lagi diakses publik.
Penggunaan Permendagri No 77/2020 untuk pergeseran anggaran kini dilakukan semua provinsi di Indonesia. Pergeseran anggaran di rapat-rapat tertutup diperkuat juga dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD 2025.
Pemerintahan yang semakin tertutup tergambar dalam Indeks Keterbukaan Informasi Publik (IKIP) yang dirilis oleh Komisi Informasi Pusat RI. Hanya satu provinsi yang masuk kategori baik. Provinsi lainnya mendapat IKIP kategori sedang, buruk, dan buruk sekali.
”Hal itu disebabkan publik tidak bisa lagi mengakses penjabaran APBD di semua provinsi, kecuali Jakarta yang hingga saat ini masih membuka penjabaran APBD ke publik,” kata Siska.
Analis Kebijakan Fitra Sumut, Elfenda Ananda, menjelaskan, kasus korupsi di Dinas PUPR Sumut menggambarkan bagaimana anggaran yang digeser melalui mekanisme Permendagri No 77/2020 sangat rentan dikorupsi.
Dalam kasus tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (26/6/2025) menangkap lima tersangka kasus korupsi pembangunan dan pemeliharaan jalan di lingkungan Dinas PUPR Sumut dan Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional (Satker PJN) Wilayah I Sumut dengan total nilai proyek Rp 231,8 miliar.
Lima tersangka yang ditangkap adalah Topan Obaja Putra Ginting yang merupakan Kepala Dinas PUPR Sumut, Rasuli Efendi Siregar selaku Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Gunung Tua Dinas PUPR Sumut, Heliyanto dari Satker PJN Wilayah I Sumut, M Akhirun Efendi Siregar selaku Direktur Utama PT Dalihan Natolu Group, dan M Rayhan Dulasmi Pilang selaku Direktur PT Rona Nambora.
Dari keterangan saksi dan terdakwa dalam persidangan kasus korupsi tersebut di Pengadilan Negeri Medan, kata Elfenda, terlihat bahwa tindak pidana korupsi sudah dirancang sejak pergeseran anggaran.
Melalui Pergub Sumut Nomor 16 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga Penjabaran APBD Sumut 2025, Pemrov Sumut meningkatkan belanja modal jalan, jaringan, dan irigasi, hampir dua kali lipat dari Rp 695,91 miliar menjadi Rp 1,36 triliun.
Ada 176 proyek yang diusulkan Dinas PUPR Sumut untuk dibiayai melalui skema pergeseran anggaran itu. Dua di antaranya berakhir menjadi perkara korupsi di KPK, yakni pembangunan Jalan Sipiongot-Batas Labuhanbatu senilai Rp 96 miliar dan Jalan Hutaimbaru-Sipiongot Rp 61,8 miliar.
Pergeseran anggaran itu dilakukan berdasarkan hasil rapat Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang diketuai Penjabat Sekretaris Daerah Sumut saat itu, Effendy Pohan, pada 12 Maret 2025. Tim itu mengusulkan penggunaan Rp 785 miliar hasil efisiensi APBD Sumut. Hanya berselang satu hari, Bobby sudah meneken Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 16/2025.
Menurut Elfenda, pengakuan Akhirun yang menjadi pemenang lelang proyek sangat penting untuk dicermati. Akhirun menyebut, jatah untuk Kepala Dinas PUPR Sumut sebesar 4 persen dan Kepala UPTD 1 persen dari nilai proyek sudah menjadi kebiasaan.
”Bisa dibayangkan betapa besarnya kerugian negara dari belanja modal infrastruktur hasil pergeseran anggaran yang membengkak menjadi Rp 1,36 triliun,” kata Elfenda.
Saat diperiksa sebagai saksi untuk terdakwa Akhirun dan Rayhan, Effendy menjelaskan kronologi pergeseran anggaran untuk dua proyek kasus korupsi itu.
Kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan yang dipimpin Khamozaro Waruwu, Effendy menjelaskan, kebijakan pergeseran anggaran didasarkan pada visi dan misi Bobby dan Surya sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut.
Namun, Effendy tidak menjawab secara tegas siapa yang mengambil keputusan akhir tentang pergeseran anggaran tersebut. Dia hanya menjelaskan bahwa pergeseran anggaran tersebut sah karena dilakukan berdasarkan Permendagri No 77/2020 dan Inpres No 1/2025.
Effendy membantah keterlibatan pimpinannya, yakni Bobby, dalam pergeseran anggaran tersebut. ”Tidak ada, Yang Mulia,” kata Effendy ketika ditanya peran pimpinannya dalam pergeseran anggaran tersebut.
Setelah pergeseran anggaran, pemenang proyek dua ruas jalan menuju desa terpencil Sipiongot lalu diatur. Calon kontraktor bahkan ikut menyusun dokumen perencanaan, termasuk menyesuaikan belanja, harga, hingga volume pekerjaan.
Lelang proyek senilai ratusan miliar rupiah itu tidak diumumkan secara terbuka. Proyek itu ditawarkan melalui e-katalog pada Kamis (26/6/2025) pukul 17.32 WIB. Lalu, pada pukul 23.34 sudah ada pengumuman pemenang lelang, yakni PT Dalihan Natolu Group.
Perusahaan milik Akhirun itu satu-satunya yang ikut lelang. Perjalanan dua proyek itu mulai dari pergeseran anggaran, perencanaan, hingga penetapan pemenang lelang dilakukan di ruang gelap.
Elfenda mengatakan, pandangan sejumlah fraksi pada Rapat Paripurna DPRD Sumut tentang pengesahan Perubahan APBD 2025, Senin (29/9/2025), menunjukkan bahwa pergeseran angaran tersebut menyimpan bom waktu.
Sejumlah fraksi menyetujui pengesahan P-APBD 2025, tetapi menolak bertanggung jawab atas apa pun yang terjadi akibat P-APBD karena gubernur sudah enam kali melakukan pergeseran anggaran tanpa evaluasi DPRD Sumut. P-APBD itu sekaligus menjadi perubahan ketujuh APBD Sumut 2025.
Elfenda menyebut, rezim pergeseran anggaran publik melalui rapat-rapat privat oleh segelintir orang harus segera diakhiri. Kebijakan anggaran harus segera dikembalikan lagi ke ruang publik, yakni melalui mekanisme penganggaran di DPRD Sumut.
Kebijakan negara yang berkenaan dengan kepentingan publik harus dirumuskan di ruang publik sehingga bisa ditelaah secara rasional dan kritis. Informasi tentang penjabaran APBD juga harus dibuka seluas-luasnya kepada publik.