Mendorong Pengolahan Cabai Pascapanen

Kamis, 02 September 2021
Mendorong Pengolahan Cabai Pascapanen

Kementerian Pertanian pada Juli 2021 memberikan rilis data produksi aneka cabai nasional yang tercatat mengalami surplus
hingga 4.439 ton, dengan perhitungan selisih hasil produksi sebanyak 163.293 ton dan kebutuhan masyarakat sebanyak 158.855 ton, dengan kesimpulan dapat memenuhi kebutuhan cabai bagi masyarakat.

Bahkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi cabai nasional pada 2020 mencapai 2,77 juta ton, angka yang mengalami peningkatan 7,11 persen dibandingkan 2019, sehingga Indonesia masih melakukan ekspor aneka cabai pada 2020, senilai 25,18 juta dolar AS, naik 69,86 persen atau 10,36 juta dolar AS dari tahun 2019.

Karena surplusnya produksi cabai, Kementerian Pertanian meminta dukungan dari para pengusaha lokal dan pemerintah daerah untuk membantu penyerapan hasil petani, melalui dukungan pemasaran agar harga tidak jauh turun dan merugikan petani.
Namun sayangnya di tengah suplusnya produksi cabai yang cukup tinggi, BPS justru mencatat, sepanjang Januari hingga Juli 2021,
Indonesia telah melakukan impor cabai sebanyak 30.157,3 ton dengan nilai US$ 64,62 juta atau Rp 930,5 miliar (kurs Rp 14.400/US$).

Jika melihat data yang dirilis, maka nilai impor periode Januari-Juli 2021 mengalami kenaikan 58,2% dibandingkan dengan periode yang sama pada 2020 sebesar US$ 40,84 juta, dengan volume impor sebanyak 21.538,79 ton.
Nilai impor cabai dari India mencapai US$ 56,86 juta, meningkat 68,7% dibandingkan realisasi impor pada Januari-Juli 2020 sebesar US$ 33,69 juta.
Kemudian dari China mencapai US$ 6,95 juta, naik dibandingkan realisasi impor periode yang sama pada 2020 yang mencapai US$ 6 juta.
Sedangkan nilai impor cabai dari Malaysia US$ 260.971, lebih rendah dibandingkan realisasi Januari-Juli 2020 sebesar US$ 547.036.

Begitu juga dari Spanyol yang mencapai US$ 174.019, dan Australia yang mencapai US$ 80.945, lebih rendah dibandingkan dengan nilai impor
Januari-Juli 2020 yang sebesar US$ 138.971.
Sementara nilai impor yang berasal dari pemasok negara lainnya mencapai US$ 282.588 pada periode Januari-Juli 2021 atau lebih tinggi dibandingkan nilai impor pada periode Januari-Juli 2020 yang sebesar US$ 190.460.

Banyak Pertanyaan
Salah satu alasan yang paling masuk akal untuk melakukan impor adalah kelangkaan barang, kebutuhan yang tidak mampu ditutupi oleh hasil produksi, hingga mengakibatkan distribusi yang tidak merata, dan harga yang sangat tinggi di konsumen.

Padahal tanaman holtikultura seperti cabai masih menjadi andalan mayoritas petani, bahkan pada saat rilis data oleh BPS tentang surplusnya hasil produksi, ada kekhawatiran berdampak dengan murahnya harga cabai yang merugikan petani, tentunya kebijakan impor ini melahirkan banyak pertanyaan.
Berdasarkan pantauan SP2KP Kemendag, sepanjang enam bulan pertama 2021, harga cabai nasional mengalami penurunan. Seperti harga cabai jenis merah besar yang turun 43,71% dari Rp 57.200/kg menjadi Rp 32.200/kg, sedangkan cabai merah keriting turun 41,49% dari kisaran Rp 56.400/kg menjadi Rp 33.000/kg.

Penurunan harga yang seiring dengan data produksi aneka cabai nasional Kementerian Pertanian pada Januari hingga Juli 2021 yang menunjukkan angka surplus, bahkan pada bulan Juli terdapat produksi sebanyak 163.293 ton dengan kebutuhan sebesar 158.855 ton, dan mengalami surplus 4.439 ton.

Salah satu yang mungkin harus menjadi bahan pertimbangan sebelum melakukan praktik impor adalah sensitifnya para petani terhadap fluktuasi harga, yang bisa menyebabkan anggapan bahwa cabai bukanlah suatu komoditas yang menguntungkan dan akan berdampak pada peralihan petani ke komoditas atau kegiatan lainnya.
Pihak Kementerian Pertanian menyatakan bahwa impor dilakukan bukan pada jenis cabai segar yang dikonsumsi oleh masyarakat, melainkan cabai kering untuk menutupi kebutuhan industri, yakni cabai yang dihancurkan atau ditumbuk sebanyak 27.851 ton.

Jika alasan impor dilakukan untuk mencukupi kebutuhan industri berupa cabai kering yang diolah menjadi bubuk cabai dan sejenisnya, tentunya dengan angka surplus yang ada, seharusnya langkah strategis yang dilakukan adalah mendorong petani untuk tidak berhenti pada kegiatan on farm tapi didorong ke arah off farm, terutama pengolahan pascapanen untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing.

Produk Olahan
Di masa pandemi yang membatasi banyak mobilitas masyarakat, salah satu produksi pertanian yang dapat dilakukan adalah budidaya cabai di pekarangan rumah, dengan risiko buah cabai memiliki masa kesegaran yang pendek dan mudah mengalami kebusukan. Diperlukan cara penanganan panen cabai yang baik, hingga proses pengolahan hasil cabai, sehingga cabai tidak hanya dikonsumsi dalam bentuk segar, tetapi berupa produk olahan yang memiliki masa simpan panjang, nilai tambah, dan daya saing.

Di sinilah selayaknya Kementerian Pertanian bekerja sama dengan pemerintah daerah dapat melakukan strategi intervensi untuk menjamin ketersediaan pangan dan menjaga stabilitas harga melalui pengembangan olahan cabai, berupa simplisia atau bubuk cabai.

Kegiatan ekonomis yang diawali dengan melatih petani atau masyarakat untuk melakukan proses pengeringan cabai segar menggunakan sinar matahari atau oven menjadi simplisia cabai. Karena cabai adalah produk yang tidak bisa disimpan dalam jangka waktu lama, maka akan sangat rentan terjadi fluktuasi harga yang sangat cepat dan bisa memicu terjadinya inflasi di satu daerah.

Langkah mendorong petani atau UMKM untuk pengolahan cabai kering menjadi bubuk cabai bisa menjadi kebijakan alternatif daripada melakukan impor, tentunya diharapkan dapat mengantisipasi murahnya harga cabai selama masa surplus dan menjamin kebutuhan industri, Karena cabai kering untuk kebutuhan industri tetap saja berasal dari cabai segar yang dikeringkan, sehingga yang paling penting dilakukan adalah membuka akses pengetahuan hingga pasar petani yang terbatas, dengan membuka kerja sama petani dengan industri pengguna.

Kalau alasan impor adalah kebutuhan industri, sudah selayaknya pemerintah fokus memperhatikan pengolahan cabai pascapanen untuk meningkatkan serapan hasil produksi yang mengalami surplus daripada menutupi kebutuhan industri dengan impor.

Dengan kualitas mutu dan pengemasan yang menarik dalam produksi bubuk cabai, abon, dan aneka bumbu, proses diversifikasi dan ketersediaan pangan bisa tercapai dan menambah penghasilan petani dari kegiatan off farm.

Menghentikan Impor
Lebih jauh lagi untuk mendorong kegiatan ekonomi di sektor UMKM dan industri kreatif, cabai juga dapat diolah menjadi panganan seperti pasta cabai, cabai crispy, dan minyak cabai, yang sekaligus menjaga optimisme petani pascapanen terkait stabilitas harga hasil pertaniannya.

Memaksimalkan potensi hasil produksi lokal dengan menghentikan impor di tengah hasil produksi yang surplus tentunya lebih bisa mendorong kepastian hitungan ekonomi dan kesejahteraan para petani cabai. Karena dengan peningkatan diversifikasi pangan dan kegiatan off farm, perlindungan masa depan hasil produksi petani lebih menjanjikan.

Secara jangka panjang bagi industri makanan dalam negeri, juga mungkin lebih menguntungkan jika menggunakan komoditas cabai hasil panen dalam negeri, karena proses impor sendiri sangat berkaitan dengan pengurusan perizinan dan fluktuasi nilai tukar mata uang.

Untuk jangka panjang praktik impor yang berlebihan bisa berakibat pada tertekannya harga cabai dan pada akhirnya merugikan petani, sehingga menyebabkan petani enggan menanam, dan berakibat pada pasokan masa depan cabai yang akan terganggu. Maka langkah mendorong petani dan sektor
UMKM untuk mengembangkan industri pengolahan dengan membuka jalinan kemitraan dengan industri akan mempermudah penyerapan cabai untuk kebutuhan industri.

Dan, untuk memastikan ketersediaan pasokan kebutuhan industri, langkah perbaikan tata kelola dari proses produksi hingga pengolahan menjadi sangat penting.
Karena cabai merupakan komoditas rentan busuk, memiliki potensi fluktuasi harga sangat tinggi, dan termasuk salah satu sektor penyumbang inflasi terbesar.
Daripada setiap tahun melakukan impor, mungkin lebih baik pemerintah berfokus pada tindakan intervensi tata kelola dalam mengontrol harga cabai.
Termasuk memperbaiki dua faktor yang sering mempengaruhi stabilitas harga cabai, yaitu faktor produksi hingga panen dan faktor penyimpanan hingga pengolahan.

Sumber:


Lainnya

Jumat, 02 Mei 2025

BERDASARKAN rilis pemerintah, Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat sekitar 5.03 % sepanjang 2024, dan nilai ekspor-impo

Kamis, 06 Februari 2025

Penulis Direktur Eksekutif SMIPIDATO Presiden Prabowo Subianto di Jakarta pada 30 Januari 2025 dalam acara Rapim TNI-Pol

Senin, 23 Desember 2024

Penulis Direktur Eksekutif SMIPERNYATAAN pemerintah melalui Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Koordinator Hukum, HAM

Selasa, 26 November 2024

Lembaga Non profit Perkumpulan Suluh Muda Inspirasi (SMI), mengatakan praktik politik uang yang dibiarkan secara terus m

Sabtu, 02 November 2024

Penulis Direktur Eksekutif SMIMOMENTUM pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah ( Pilkada ) Serentak 2024 sudah mulai me