Korupsi Dinas PUPR Sumut dan Tantangan Keberanian Peradilan

Rabu, 22 Oktober 2025
Korupsi Dinas PUPR Sumut dan Tantangan Keberanian Peradilan

KASUS operasi tangkap tangan terhadap Kepala Dinas PUPR Provinsi Sumatera Utara telah mengungkap sistem pengelolaan anggaran publik yang rapuh dan mudah dimanipulasi. Prosedur formal sering digunakan untuk menutupi penyalahgunaan kekuasaan.

Dugaan pergeseran anggaran, penyisipan proyek dan praktik fee proyek bukan sekadar anomali teknis, melainkan gejala korupsi struktural yang menggerus kepercayaan publik terhadap tata kelola pemerintah daerah.

Selama tahun anggaran 2025, terjadi 6 kali pergeseran APBD yang signifikan. Pergeseran yang bukan hanya memindahkan proyek antar daerah, tetapi juga melibatkan perubahan alokasi dana dalam hitungan hari.

Pergeseran cepat melebihi mekanisme perencanaan dan pengawasan yang ideal. Terlihat dari kasus OTT, yaitu penyisipan proyek perbaikan jalan Hutaimbaru–Sipiongot ke dalam paket proyek darurat akibat runtuhnya jembatan di Nias Barat.

Fakta yang seolah menunjukkan bahwa pergeseran anggaran dilakukan bukan untuk kebutuhan publik, melainkan atas dasar kepentingan politik dan alokasi kekuasaan.

Keanehan prosedural ini diperkuat oleh fakta persidangan, di mana tidak ada pengajuan resmi dari pemerintah Kabupaten Padang Lawas Utara terkait perbaikan jalan yang dimaksud.

Pergeseran anggaran yang dilakukan secara kilat, tanpa dokumen pengusulan yang sah, menimbulkan pertanyaan serius, apakah tata kelola keuangan daerah telah dikendalikan oleh kepentingan tertentu di atas pejabat teknis?

Korupsi Yang Terorganisir dan Sistematis
Dalam persidangan terungkap praktik koordinasi vertikal yang membentuk rantai perintah, yang mengindikasikan adanya kesepakatan fee proyek sebesar 4 % dari total nilai pekerjaan.

Secara sisi etika birokrasi, saat pejabat publik dan kontraktor terlibat dalam kesepakatan fee, telah menunjukkan bahwa etika pelayanan publik telah digantikan oleh logika transaksi keuntungan pribadi.

Fee 4% dari total proyek bukan hanya angka, tapi simbol sistem yang saling melindungi, di mana setiap pelanggaran membutuhkan konspirasi untuk menutupi jejak, sehingga proses pembuktian di pengadilan menjadi tantangan tersendiri bagi hakim.

Hakim sangat mungkin untuk tidak hanya menyasar pelaksana proyek tetapi juga pihak paling berpengaruh dalam pengambilan keputusan strategis, karena banyak fakta yang menunjukkan bahwa korupsi tidak berdiri sendiri.

Fakta para penerima suap dari level Kabupaten, Provinsi, Satker kementerian hingga pejabat lelang menunjukkan jaringan relasi kuasa yang saling melindungi dan menutupi, sehingga sulit dibongkar bila peradilan hanya fokus pada level eksekutor teknis.

Pergeseran anggaran yang dilakukan dengan cepat dalam hitungan hari tentunya sangat sulit melewati proses analisis kebutuhan dan verifikasi dokumen di TAPD, konsultasi dan pengawasan DPRD, bahkan hingga menggeser alokasi biaya tidak terduga (BTT) yang seharusnya digunakan untuk keadaan darurat atau bencana.

Dengan memanfaatkan celah regulasi seperti Permendagri tentang efisiensi dan keadaan darurat (covid 19), seolah memperlihatkan bagaimana prosedur ideal, bisa diabaikan dengan aturan yang dianggap menguntungkan.

Persidangan juga menimbulkan pertanyaan mendasar tentang fungsi pengawasan DPRD. DPRD terkesan tidak sepenuhnya diinformasikan tentang 6 kali pergeseran APBD.

Maka selayaknya DPRD dihadirkan dalam persidangan, untuk dapat memberikan keterangan pengawasan dalam proses pergeseran anggaran.

Berkaca dari banyak kasus yang berhenti pada pejabat teknis, maka harapan saat ini berada pada pentingnya peran hakim sebagai penggali kebenaran substantif, supaya hukum tidak berhenti pada aspek formal atau administratif.

Karena hakim memiliki kewenangan yang sangat luas untuk memanggil dan memeriksa pihak-pihak yang mengetahui proses anggaran.

Bahkan pejabat yang duduk di puncak struktur pemerintahan daerah, sehingga proses peradilan dapat menembus praktik yang sengaja dibuat ambigu, di mana celah prosedur administratif digunakan menutupi korupsi.

Karena kasus ini memberikan pelajaran tentang perlunya integritas dalam penyusunan APBD dan pengendalian proyek pemerintah.

Pergeseran yang dilakukan dengan cepat, proyek tanpa usulan resmi, dan penyisipan di luar tujuan awal menunjukkan adanya pendekatan top-down yang mengabaikan akuntabilitas.

Pergeseran yang merusak asas transparansi dan efisiensi, yang seharusnya menjadi prinsip utama dalam pengelolaan anggaran publik, tanpa penggalian ke level struktural di atas pejabat teknis, maka modus serupa akan tetap terjadi.

Karena salah satu fakta yang paling menyedihkan adalah ketidaksesuaian antara perencanaan, lelang dan pelaksanaan proyek, dimana proyek dilelang terlebih dahulu, sebelum adanya perencanaan. Praktik yang menunjukkan bahwa prosedur administratif hanya dijadikan formalitas, sementara keputusan diambil di luar mekanisme resmi.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar, bagaimana pemerintah daerah memastikan anggaran untuk kepentingan publik tidak disalahgunakan ketika sistem pengawasan dan prosedur formal mudah dilewati?

Keberanian Peradilan, Terhadap Pengambil Keputusan
Tantangan peradilan kasus OTT Dinas PUPR Sumut ini adalah efek jera yang nyata bagi praktik korupsi struktural. Karena penegakan hukum yang berhenti pada pelaku lapangan tidak akan mengubah sistem.

Putusan pengadilan harus menelusuri rantai keputusan hingga level pimpinan pemegang kuasa anggaran akan menjadi preseden penting bagi pemerintah daerah dan aparat hukum di seluruh Indonesia.

Ini bukan hanya soal menghukum, tetapi soal membangun integritas pemerintahan. Memperkuat transparansi fiskal, dan memulihkan kepercayaan publik terhadap institusi negara.

Karena kasus OTT Kadis PUPR Sumut adalah refleksi dari pembusukan tata kelola anggaran yang melampaui level teknis, melibatkan pergeseran cepat, penyisipan proyek, dan praktik fee yang sistematis.

Peradilan memiliki tanggung jawab untuk menegakkan keadilan substantif. Membuka seluruh lapisan proses pengambilan keputusan dan memastikan bahwa hukuman bukan hanya pada operator di lapangan, tetapi mencakup seluruh rantai kekuasaan yang memungkinkan penyalahgunaan anggaran.

Jika dilakukan dengan tepat, putusan pengadilan akan menjadi preseden nasional, sebagai bukti bahwa integritas tata kelola publik dan akuntabilitas pemerintah adalah prinsip yang tak bisa ditawar.

Kasus ini, pada akhirnya, bukan hanya soal menghukum satu pejabat, namun menjadi panggilan bagi semua pihak terkait tata kelola publik, bahwa prosedur formal hanyalah alat, tetapi keadilan substantif dan integritas sistemik adalah tujuan akhir.

Pemerintah daerah, DPRD, aparat hukum, dan masyarakat harus bekerja sama memastikan bahwa setiap rupiah anggaran digunakan untuk kepentingan publik, dan setiap penyalahgunaan diberi efek jera yang nyata, sebagai pondasi demokrasi fiskal yang sesungguhnya.

Penulis Penggiat HAM dan Demokrasi

Sumber:


Lainnya

Sabtu, 13 Desember 2025

NEGARA kembali terlihat gagap menghadapi bencana yang sudah berlangsung lebih dari dua minggu. Waktu bergerak cepat di l

Jumat, 12 Desember 2025

Medanbisnisdaily.com-Medan. Banjir besar di Aceh, Sumut dan Sumbar membuat Perkumpulan Suluh Muda Inspirasi dan Jaringan

Jumat, 12 Desember 2025

Kitakini.news - Banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejak akhir November 2025 berke

Jumat, 12 Desember 2025

MEDAN, SUARASUMUTONLINE.ID -Perkumpulan Suluh Muda Inspirasi (SMI) – Jaringan Relawan Kemanusiaan (JRK)Banjir dan

Jumat, 12 Desember 2025

MEDAN - Gosumut Perkumpulan Suluh Muda Inspirasi (SMI) bersama Jaringan Relawan Kemanusiaan (JRK) Indonesia terus memper