Hukum yang Tumpul ke Atas Tajam ke Bawah

Sabtu, 03 September 2022
Hukum yang Tumpul ke Atas Tajam ke Bawah

MELIHAT proses menguraikan kasus kematian Brigadir Joshua Hutabarat, dengan 5 tersangka pembunuhan berencana dengan pasal 340 subsider 338 juncto Pasal 55 Pasal 56 KUHP dengan ancaman hukuman mati tertinggi dan minimal 20 tahun penjara. Yang paling membuat pertanyaan tentang asas kesetaraan di depan hukum atau persamaan di depan hukum adalah tidak ditahannya Putri Chandrawati sebagai salah satu tersangka dengan alasan kesehatan, kemanusian dan masih memiliki balita.

Namun jika dibandingkan dengan beberapa kasus ibu yang memiliki balita seperti Nita Setia Budi yang memiliki balita usia 2 tahun yang ditahan karena terjerat kasus penjualan pil pelangsing badan tak berizin dan 4 ibu di Desa Wajageseng, Kecamatan Kopang, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang diberitakan karena melempari atap pabrik tembakau UD Mawar pada 26 Desember 2020 lalu, dimana 2 terpaksa harus membawa anak balitanya ke dalam penjara, sangat mengusik karena sangat terasa ketimpangan dalam perlakuan.

Padahal jika dibandingkan dengan hukuman ancaman justru pasal yang disangkakan pada Putri Chandrawati adalah yang paling layak mengalami tersingkir, karena pasal yang dikenakan dengan hukuman ancaman diatas 5 tahun dan telah terbukti pernah menghilangkan atau merusak barang bukti secara bersama – sama.

Tumpul ke Atas Tajam ke Bawah
Berbagai perlakuan antara kasus yang menjerat para pejabat dan masyarakat biasa sepertinya akan terus bermunculan, ketika persamaan didepan hukum seperti tidak memiliki sentuhan rasa keadilan dan kemanusiaan.

Sehingga timbul anggapan bahwa kumpulan aturan yang terdiri dari sanksi dan kewajiban hanya berlaku bagi masyarakat biasa, padahal Konstitusi dengan tegas memberikan jaminan persamaan dalam Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi “Segala warga negara kedudukannya secara bersamaan di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya".

Kedudukan bersama berarti menempatkan warga negara mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum, sehingga dengan kedudukan yang setara, maka warga negara dalam menghadap dengan hukum tidak ada yang berada di atas hukum 'No man beyond the law',

Yang artinya tidak ada keistimewaan yang diberikan oleh hukum pada subyek hukum, jika ada subyek hukum yang memperoleh keistimewaan, maka menempatkan subyek hukum tersebut berada di atas hukum.

Dalam Pasal 28 Ayat (1) UUD RI Tahun 1945 juga secara tegas menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” yang ditegaskan dalam sila ke-5 Pancasila yang berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sebagai bentuk egalitarianisme hukum.

Termasuk Pasal 7 dari Deklarasi Universal hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa “Semua orang sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun”.

Tetapi beberapa penegak hukum sebagai pemegang kekuasaan hukum bisa sangat subjektif dalam mengobral kewenangannya, sehingga terkesan tumpul keatas tapi sangat tajam kebawah, dengan contoh sederhana “sangat garang sopir terhadap angkot tetapi sangat sopan pada kalangan pejabat yang melanggar lalu lintas”

berbagai kasus dan perlakuan penegakan hukum hukum, membuat paradigma masyarakat beranggapan bahwa hukum, kemanusiaan dan keadilan adalah milik pejabat, apalagi dari kalangan para pejabat penegak hukum beserta keluarganya karena berbagai perlakuan istimewa yang dipertontonkan pada masyarakat

Sudah bukan rahasia umum jika banyak kasus hukum yang menjerat atau menimpa masyarakat kecil akan sangat sulit untuk mendapatkan keadilan jika tidak viral di media sosial atau media massa.

Sejatinya negara memberikan ruang untuk penegak hukum dalam menggali hukum yang bersumber dari nilai keadilan di tengah masyarakat, pasal 5 ayat 1 UU Nomer 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman secara eksplisit menyebutkan kewajiban hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Demikian juga UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian yang mengatur kemampuan diskresi polisi untuk menggali nilai-nilai keadilan dalam masyarakat, termasuk mengamanatkan untuk menjunjung etika kemasyarakatan berupa, sikap moral yang senantiasa memelihara keamanan dan masyarakat menjaga dalam menegakkan hukum, melindungi serta mengayomi, dan puncaknya melayani masyarakat juga. dengan mengindahkan kearifan lokal.

Karena aturan yang menjadi hukum lahir dan bermula dari tindakan sosial yang tumbuh, berkembang dan terpola menjadi acuan berperilaku dalam masyarakat, yang kemudian menjadi kesepakatan bersama yang bersifat mengikat, untuk kepatuhannya kemudian diikuti dengan sanksi atau hukuman.

Disinilah diperlukan kemampuan para penegak hukum tidak hanya menguasai atau menghafal pasal demi pasal hukum formil dan materil yang menjadi kewajibannya, namun kemampuan untuk menggali nilai keadilan dan kemanusian yang hidup dalam Sebagai masyarakat

faktor utama mewujudkan kepercayaan dan harapan sesuai slogan Polri yaitu Presisi merupakan akronim dari prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan atau dalam pengertian sederhana diminta serta ketelitian.

Alasan kemanusiaan sejati dalam hukum humaniter adalah Asas Equality Before The Law yang merupakan manifestasi dari Negara Hukum (Rechstaat) sehingga harus adanya perlakuan sama bagi setiap orang di depan hukum (Gelijkheid van ieder voor de wet).

Tidak ditahannya Putri Chandrawati justru menunjukkan diskriminasi perlakuan antara hukum masyarakat kelas atas dan kelas menegah ke bawah, antara pejabat dan tidak memiliki jabatan atau hubungan kekuasaan, sehingga membuat keadilan bagaikan kamuflase yang sangatlah jauh dari realita yang ada

Kesetaraan dan Kepercayaan Masyarakat
Dari rilis yang disampaikan Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia dengan survei sebanyak 1.229 responden yang dipilih secara acak melalui nomor telepon dan margin of error diperkirakan ± 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen, yang dilakukan pada 11-17 Agustus 2022

Menghasilkan penilaian responden yang menilai kondisi penegakan hukum yang buruk atau sangat buruk (37,7%), dengan tingkat kepercayaan pada Kejaksaan Agung (63,4% cukup/sangat percaya), KPK (58,8% cukup/sangat percaya), dan Polri (54,2% cukup/sangat percaya) .

Dengan rendahnya penilaian masyarakat terhadap kondisi penegakan hukum, sudah seharusnya menjadi bahan evaluasi untuk memperbaiki berbagai penyelewengan hukum, agar terhindar dari sebutan industri hukum yang dikatakan Menkopolhukam Prof Mahfud MD.

Dengan mengembalikan hukum pada nilai keadilan di tengah masyarakat sebagai sumber kelahirannya, terutama menajamkan kepekaan aparatur sosial penegak hukum untuk menggali nilai keadilan yang hidup di tengah masyarakat secara otomatis dan terukur dalam proses penegakan hukum.

Sehingga aparat atau pelaksana tidak sekedar menegakkan hukum tapi sebagai penegak keadilan yang mengedepankan penanganan kasus menggunakan asas dan nilai kemanusiaan, serta tidak hanya mencari sanksi atau hukuman melalui tumpukan pasal dan kertas.

Namun licik dan peka dalam menghadapi masyarakat yang lelah mencari keadilan dan tegaknya hukum tanpa diskriminasi, karena dengan membaiknya penegakan hukum maka membaik pula kehidupan ekonomi, sosial, demokrasi dan kemanusiaan.

Sumber:


Lainnya

Sabtu, 02 Agustus 2025

Penulis Direktur Eksekutif SMIDALAM forum The 28th St Petersburg International Economic Forum (SPIEF 2025) Presiden Prab

Rabu, 30 Juli 2025

Penulis Direktur SMIPRESIDEN Prabowo Subianto dalam pidatonya pada 20 Juli 2025 menyampaikan bahwa Indonesia mengalami s

Senin, 21 Juli 2025

Direktur Eksekutif SMIVonis 4,5 tahun terhadap Thomas Trikasih Lembong dalam perkara izin impor gula bukan hanya pukulan

Sabtu, 19 Juli 2025

Penulis Direktur Eksekutif SMIINDONESIA tidak dilahirkan sebagai monarki, tapi dalam bentuk republik. Pilihan yang diamb

Rabu, 02 Juli 2025

Penulis Direktur Eksekutif SMIMEDAN – Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon pada 14 Juni yang menyatakan “