Desiminasi Penelitian Defisit Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Mengapa dan bagaimana mengatasinya
Kamis, 05 Maret 2020
Kota Medan
Diskusi lanjutan Perkumpulan Suluh Muda Inspirasi (SMI) dan The Prakarsa yang sudah digelar dalam tema mengupas soal devisit BPJS dan menghadirkan sejumlah stakeholder untuk membahas soal defisit BPJS itu dalam Tema Mencari Solusi Alternatif Pembiayaan Defisit BPJS Kesehatan, diskusi berkelanjutan ini adalah bagaimana tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang berkaitan dengan BPJS.
Kembali pada program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) merupakan langkah mundur untuk mengatasi defisit anggaran yang dialami Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, pembiayaan alternatif dipandang menjadi solusi konkrit untuk mengatasi defisit tanpa harus mengorbankan masyarakat dan anggaran pemerintah, berdasarkan hasil data yang diperoleh, per 31 Desember 2019 defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp 15,5 triliun. Jumlah ini terus meningkat sejak tahun 2016 yaitu Rp 6 triliun menjadi Rp 13,5 triliun tahun 2017.
Sebagai salah satu solusinya pemerintah menetapkan kenaikan iuran peserta BPJS Kesehatan pada semua kelas, satu hal yang perlu digarisbawahi yaitu pemanfaatan program JKN sangat tinggi sekali oleh masyarakat.
Tingginya pemanfaatan ini tidak bisa dilepaskan dari satu perubahan situasi yang sangat fundamental, yaitu sebelum adanya JKN dan setelah adanya JKN. Artinya, sebelum adanya JKN pelayanan kesehatan itu merupakan barang mahal, yang tidak mudah diakses dan dinikmati oleh masyarakat kecil.
Adanya JKN maka akses menjadi lebih mudah dan kualitas pelayanan juga meningkat, sehingga masyarakat yang menjadi peserta memanfaatkannya secara besar-besaran.
Faktor lainnya, yaitu kepatuhan masyarakat yang menjadi peserta dalam membayar iuran. Selanjutnya, jenis-jenis penyakit yang di-cover juga masih cukup komplit.
Dengan kata lain, tidak ada batasan sehingga biaya klaim rumah sakit dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) sangat besar.
Faktor potensi fraud (kecurangan) yang masih cukup tinggi dan berada di seluruh tingkatan, tidak hanya berada di level penyelenggara tetapi juga masyarakat.
Artinya, semua level berpotensi terjadi kecurangan sehingga mempengaruhi keberlanjutan pembiayaan program JKN.
Intinya, jika kita ingin mendapatkan suatu kondisi JKN yang berkelanjutan maka kita perlu menyelesaikan paling tidak dua hal. Pertama, di aspek tata kelola JKN itu sendiri.
Benefit atau manfaat yang dirasakan dengan adanya program JKN sangat jauh dibanding cost atau biaya yang dikeluarkan. Untuk itu, jangan sampai program JKN ini berganti apalagi terhenti tetapi harus terus berjalan namun tetap dievaluasi sehingga semakin baik.
Progam JKN yang ada saat ini di Indonesia merupakan sistem yang paling bagus dibanding dengan negara-negara di dunia yang menerapkannya. Namun demikian, perlu terus ditingkatkan agar semakin baik.
Data yang dihimpun saat ini, dari 100 persen jumlah peserta ternyata sekitar 5 persennya menggunakan layanan rawat inap.
Angka 5 persen ini tidak statis melainkan dinamis hingga 10 persen bahkan lebih. Hal ini berarti, klaim akan terus meningkatkan dan juga beban pembiayaan lainnya,
Oleh karena itu, sangat perlu sumber dana alternatif, diantara melalui cukai.
Apalagi, saat ini Menteri Keuangan Sri Mulyani tengah membidik sumber cukai baru dari minuman manis, plastik dan lain-lain. Hal ini diharapkan bisa sebagian disisihkan untuk mengatasi defisit yang dialami BPJS Kesehatan, sehingga tidak perlu iuran dinaikkan terlalu tinggi.