Demokrasi Tanpa Etika

Kamis, 30 November 2023
Demokrasi Tanpa Etika

GAGASAN demokrasi berawal dari Yunani kuno abad ke-6 SM. Secara epistemologis kata demokrasi berarti rakyat berkuasa, diambil dari kata Yunani, demos, yang berarti rakyat dan kratos/kratein berarti berkuasa, dan berkembang pada keharusan pembatasan kekuasaan di permulaan abad ke-20.

Dalam perkembangannya demokrasi sedikitnya memuat dua asas atau dua prinsip pokok, yaitu pengakuan partisipasi rakyat didalam pemerintahan, dan adanya pengakuan harkat dan martabat manusia atau jaminan terhadap hak azasi manusia

Demokrasi kemudian dimaknai sebagai pencegahan pada pemerintahan yang berwatak diktator, otorarian dan monarkhi atau pewarisan berdasarkan hubungan kekerabatan, sehingga keutamaan demokrasi adalah proses distribusi kekuasan sebagai bagian pembatasan kekuasan, tanpa saling mengintervensi untuk memastikan keseimbangan

Demokrasi juga harus menjamin kesetaran hak setiap warga negara untuk memerintah dengan memiliki kesempatan dan sumber daya yang sama menjadi aktor pada lembaga-lembaga yang dapat digunakan ikut aktif dalam pemerintahan.

Sehingga demokrasi mutlak memiliki syarat, yaitu perlindungan konstitusional atas hak warga negara, badan kehakiman atau peradilan yang bebas dan tidak memihak, pemilihan umum yang bebas, kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan berorganisasi dan pendidikan kewarganegaraan.

Sedangkan beberapa faktor utama yang menjadi tolak ukur dalam pelaksanaan demokrasi dalam suatu sistem politik atau negara adalah adanya hak dan kebebasan berpolitik, penegakkan rule of law, pengakuan pluralisme dalam kehidupan berpolitik, perkembangan budaya politik yang memberi akses untuk mengakomodasi aspirasi rakyat.

Aristoteles mengatakan tugas ilmu adalah mempelajari tujuan tertinggi manusia, yaitu politik, yang berfungsi untuk mempromosikan kehidupan yang baik dalam arena publik, dimana fungsi utama ilmu adalah mendidik manusia untuk memiliki interest terhadap kesejahteraan orang lain yang tidak hanya untuk teman dekat dan kerabat.

Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa pengetahuan sangat erat berkaitan dengan politik yang mengatur urusan pemerintahan atau ketatanegaraan sebagai etos yang menjadi penentu keberhasilan demokrasi

Sistem demokrasi tidak akan mengalami keberhasilan tanpa etos dari para pelaku atau aktor, sehingga sangat mungkin menjadi demokrasi yang tidak demokratis, karena proses dan para pelakunya bertindak tidak berdasarkan sikap, kepribadian, watak, karakter dan keyakinan demokrasi itu sendiri.

Demokrasi Tanpa Etika
Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang berarti sifat, watak, adat, kebiasaan dan cara berpikir. Sedangkan ethikos berarti susila, adab atau kelakuan, dan perbuatan, sehingga etika adalah pondasi utama berdirinya demokrasi.

Etika dalam demokrasi adalah pengikat dan penyangga bangunan untuk menjaga kualitas demokrasi agar tidak terjebak pada penyalahgunaan kekuasan atau hanya dimaknai pada sebatas meraih suara terbanyak untuk menjadi pemenang kontestasi demokrasi

Karena etika merupakan nilai yang berlaku secara kesepakatan turun temurun dari saripati budaya, adat istiadat dan agama yang seharusnya tidak dapat dilanggar, karena merupakan acuan kehidupan dalam kehidupan bersama, disinilah dituntut kesadaran untuk mampu mengatur kehendak dalam dirinya bagi setiap orang agar tidak bertentangan dengan etika

Dari etika muncullah penilaian terhadap layak atau tidaknya sebuah tindakan, ucapan dan perilaku, atau sering disebutkan etis atau tidak etis, sehingga ketika etika diabaikan sebagai sebuah prinsip dasar maka secara otomatis merupakan pengabaian nilai moralitas dalam masyarakat

Dimana etika individu adalah perilaku dalam rangka menjaga dan mempertahankan nama baiknya sebagai pribadi yang bermoral, dan etika umum adalah standar yang mengacu pada kewajiban dan hak, disinilah substansi etika menjadi nilai yang seharusnya membuat masyarakat, penyelenggara negara, politisi mengerti tentang apa yang menjadi kewajiban dan apa yang menjadi hak dalam berdemokrasi

Karena sejatinya penghargaan terhadap nilai moral akan menjadi identitas sebuah bangsa, ketika semua pihak dan elemen memiliki standar yang tinggi dalam menilai kualitas etika dan moral untuk membangun tatanan terbaik dari politik dan demokrasi

Persoalan etika inilah yang dalam beberapa waktu belakangan menarik perhatian masyarakat. Dimulai keputusan MK Nomor 90/PUU/XXI/2023 yang membuat Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyatakan Ketua MK melanggar etik berat dan membiarkan terjadinya intervensi

Kemudian diikuti dengan peristiwa dalam silaturahmi Organisasi Nasional Desa Bersatu di Arena GBK Jakarta Pusat yang dihadiri oleh salah satu calon wakil presiden, yang disinyalir mengajak mendukung salah satu pasangan calon karena adanya penyebutan nomor pencalonannya yang menuai kontroversi terhadap netralitas aparatur desa.

Acara silaturahmi Organisasi Nasional Desa Bersatu ini, membuat para perangkat desa yang hadir berpontensi melakukan pelanggaran UU Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 280 ayat (2) tentang Pemilu. Disebutkan, selain ASN, pimpinan MA atau MK sampai perangkat desa dan kelurahan dilarang diikutsertakan dalam kegiatan kampanye.

Sepatutnya profesi penyelenggara negara dan perangkat desa adalah pelopor etika berpolitik bagi masayarakat, namun pada faktanya banyak situasi menegaskan ketidakpatuhan penyelenggara negara pada hukum, sementara secara konsep demokrasi seharusnya dijalankan berdasarkan hukum

Dengan perkembangan situasi belakangan, bukan tidak mungkin demokrasi hanya tinggal penamaan, karena secara attitude para aktornya sangat jauh dari etos demokrasi, terutama terlihat dari cara berbagai pihak yang berkompetisi, yang lebih mementingkan akal bulus mengakali hukum dan etika untuk kepentingan masing-masing pihak.

Kondisi yang melahirkan minusnya suri teladan karena ketidaksadaran para pejabat publik dan penegak hukum sebagai contoh dan wajah negara bagi masyarakat, yang kemudian diikuti permisivisme dari masyarakat sendiri yang seolah mengaminkan pelanggaran etika pihak yang didukungnya atau lingkarannya

Praktik pelanggaran etika bahkan hukum ini kemungkinan besar disebabkan karena keuntungan dari pelanggaran melebihi kerugian yang dialami. Atau sederhananya pelaku meyakini pelanggaran lebih mendapatkan insentif yang menggiurkan daripada menjaga etika pribadi dan etika umum

Kalkulasi pragmatis yang sering dihubungkan jika melihat suburnya praktek penyalahgunaan kewenangan dengan vonis hukuman rendah, seperti hanya dihukum penundaan kenaikan jabatan atau demosi, dengan tipikal masyarakat pelupa dan pragmatis cepat atau lambat para pelanggar etika dan hukum dapat berkarir kembali

Apalagi jika melihat fakta yang terjadi pada banyak peristiwa dimana proses dukung mendukung pada pihak yang berkompetisi sangat erat berhubungan dengan proses distribusi jabatan, promosi dan mutasi berdasarkan jasa dalam kontestasi demokrasi atau pemilu, sangat memungkinkan menjadi penyebab hilangnya kepatuhan pada hukum dan etika dari penyelenggara negara

Kondisi yang melahirkan demokrasi tanpa nilai, yaitu perilaku politisi dan penyelenggara negara yang jauh dari etika politik, dimana makna dan esensi demokrasi tereduksi hanya sebagai perebutan kekuasaan

Bahaya Demokrasi Tanpa Etika
Ketiadaan etika akan sangat berbahaya karena menimbulkan ketidakpuasan publik dalam dalam proses bernegara dan sangat mungkin memunculkan ketidakpercayaan hingga perpecahan di tengah masyarakat.

Apalagi jika dikaitkan dengan fenomena konflik antar lembaga negara, kasus korupsi yang dilakukan pejabat negara, suburnya peredaran narkoba dikalangan kaum muda, hingga perbuatan asusila yang terjadi dilembaga agama dan pendidikan, yang kemudian dijustifikasi sebagai cermin hilangnya nilai-nilai etika dan moral

Termasuk praktek para politisi, pejabat publik dan penegak hukum yang seolah tidak memiliki rasa malu walaupun terindikasi terlibat berbagai kasus seolah tetap jumawa dengan alasan praduga tidak bersalah bahkan melakukan gugatan status hukumnya, tanpa pertanggungjawaban moral dan penyesalan, sangat menunjukkan rendahnya kualitas etika yang dicontohkan.

Sarah Birch & Nicholas Allen dalam Judging politicians: The role of political attentiveness in shaping how people evaluate the ethical behaviour of their leaders, menyebut, para politisi semestinya menjaga kepercayaan masyarakat agar tetap mempertahankan legitimasi publik, akan tetapi, faktanya kebanyakan dari mereka bertindak sebaliknya

Kondisi yang kemudian memicu rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi politik, pemerintah dan penegak hukum, yang kemudian memunculkan sikap apatisme dan permisif. Masyarakat tidak lagi peduli terhadap kondisi sosial politik atau perilaku aktor politik, pemerintah dan hukum.

Ketiadaan warisan etika dan moral kepemimpinan dari generasi saat ini kepada generasi penerusnya pada gilirannya akan menghancurkan indonesia sebagai negara yang berdaulat dan bermartabat, karena cepat atau lambat masyarakat akan menyalahkan sistem bernegara yang menjurus pada krisis legitimasi.

Penulis Direktur Eksekutif Perkumpulan Suluh Muda Inspirasi (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi

Sumber:


Lainnya

Jumat, 02 Mei 2025

BERDASARKAN rilis pemerintah, Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat sekitar 5.03 % sepanjang 2024, dan nilai ekspor-impo

Kamis, 06 Februari 2025

PIDATO Presiden Prabowo Subianto di Jakarta pada 30 Januari 2025 dalam acara Rapim TNI-Polri yang menyebutkan biasanya c

Senin, 23 Desember 2024

PERNYATAAN pemerintah melalui Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan

Selasa, 26 November 2024

Medanbisnisdaily.com-Medan. Direktur Eksekutif Perkumpulan Suluh Muda Inspirasi (SMI), Kristian Redison Simarmata, menga

Sabtu, 02 November 2024

Penulis Direktur Eksekutif SMIMOMENTUM pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah ( Pilkada ) Serentak 2024 sudah mulai me