Demokrasi Dalam Selimut Primodialisme dan Etnosentrisme
Selasa, 19 April 2022
“Saya tidak setuju pendapat Anda, tapi saya akan memperjuangkan hak mengemukan pendapat Anda “ (Voltaire).
Sebuah pernyataan kesadaran berdemokrasi yang rasanya masih sangat jauh dan sulit dinikmati di Indonesia.
Menarik sentimen perasaan secara nyata mendominasi ruang publik dalam berbagai perdebatan perbedaan pendapat, sehingga terkadang seperti menumpulkan akal sehat dan rasionalitas terasa menghiasi materi perdebatan dalam konteks demokrasi.
Terutama setelah Pemilihan Umum 2014, seolah membuktikan bagaimana dominan politisi dan elite sangat mengandalkan isu primordial daripada varibel beradu argumentasi, gagasan, konsepsi hingga strategi pembangunan yang rasional.
Permainan politik emosional yang menarik masyarakat pada perbedaan pendapat bukan berdasarkan pertimbangan rasional untuk perbaikan situasi, tetapi keberpihakan atas dasar primordialisme, perkauman, dengan penguatan etnosentrisme
Primordil atau Primordialisme berasal dari kata Bahasa Latin 'primus', yang artinya 'pertama'; dan 'ordiri', yang artinya 'tenunan atau ikatan', yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), primordialisme adalah perasaan kesukuan yang berlebihan.
Ikatan seseorang pada kelompok yang 'pertama' dengan segala nilai yang diperolehnya melalui sosialisasi dan internalisasi, yang kemudian sangat berperan dalam membentuk sikap yang menganggap bahwa segala sesuatu yang berasal dari kelompoknya (suku bangsa atau agama) merupakan satu-satunya yang 'terbaik' dan 'terbenar'.
Sikap yang di satu sisi, memiliki fungsi untuk melestarikan budaya kelompok, tapi di sisi lain, sikap ini membuat individu atau kelompok memiliki sikap etnosentrisme, menjadi cenderung bersifat subjektif dalam memandang budaya orang lain.
Sikap yang selalu memandang budaya lain dengan filter budaya sendiri, bahkan kehilangan kemampuan untuk melihat orang lain di luar latar belakang budayanya sendiri, dan menilai orang dari kelompok, masyarakat, atau gaya hidup dengan standar dalam kelompok atau budaya sendiri, dan akhirnya memandang masyarakat yang berbeda sebagai inferior (lebih rendah).
Menguatnya Primodialisme dan Etnosentrisme
Ada dua jenis etnosentris, yakni, etnosentris infleksibel, yaitu sikap yang cenderung bersifat subjektif dan inward looking dalam memandang budaya atau tingkah laku orang lain. Dan etnosentris fleksibel, yang cenderung menilai tingkah laku orang lain tidak hanya berdasarkan sudut pandang budaya sendiri, tetapi juga sudut pandang budaya lain.
Walaupun harus disadari bahwa primordial tidak selalu pikiran, sikap, dan tindakan yang salah, tetapi jika meyakininya menjadi satu-satunya yang paling 'benar', dalam melihat sudut pandang, suku, ritual budaya dan agama, disitulah primordial menjadi kesalahan dan berdampak negatif.
Indonesia sendiri merupakan “kawah“ primodialisme, karena lahir dari persatuan ribuan pulau, ratusan suku bangsa, ribuan bahasa daerah, dan ragam agama, sehingga sifat dan sikap primordial terwarisi dan masih hidup di tengah masyarakat hingga saat ini.
Politisasi tema dan narasi berlatar primordial para calon presiden dan kepala daerah terbukti menjadi alat rekayasa emosional dalam membangun kelompok pendukung, hingga melahirkan polarisasi yang sangat tajam dalam membelah masyarakat
Dan dampak secara psikologis begitu terlihat hingga kini, langkah politisasi primordial dan etnosetrisme secara nyata menyisakan residu di kedua kubu kelompok yang menang dan kalah, karena mengalami pertarungan yang berkepanjangan
Berbagai perang teror, intimidasi, dan pelecehan terus berlangsung seolah tiada berkesudahan, dimana kelompok pemenang seolah adalah yang paling melindungi pemerintah dan kelompok yang kalah menjadi pengkritik tajam
Bahkan kedua kelompok terkadang kehilangan rasionalitas akibat perbedaan pilihan yang seolah tidak mungkin disatukan, menjadi sesuatu yang tragis ketika hajatan yang seharusnya dinikmati sebagai ruang beradu gagasan, pemikiran, argumentasi yang saling mengakomodir justru melahirkan derita dan trauma psikis yang mengikis rasa persaudaran dan kemanusiaan.
Praktik politisasi SARA sebagai alat untuk meraih simpati atau berebut kekuasaan, yang mengakibatkan perpecahan dan emosi yang terus berlarut, jelas terlihat dalam beberapa tindak kekerasan.
Tindak kekerasan yang kemudian melahirkan pro dan kontra diantara kelompok yang terkait dengan Pilpres sebelumnya, padahal kedua kubu menyatakan menjunjung demokrasi dan hak asasi manusia, namun memilih diam bahkan secara implist mendukung perilaku kekerasan yang terjadi pada kubu yang berlawanan
Kekerasan sebagai cermin dari pembelaan berlebihan terhadap, suku, agama, ras yang menjadi representative pilihan, akhirnya melahirkan efek polarisasi yang berujung pada rasa kebencian, yang tersimpan dalam memori sebagian masyarakat yang menelan bulat berbagai isu perbedaan, dan akhirnya mudah diadu domba dan terpancing emosi
Padahal tujuan akhir demokrasi bukanlah pada memenangkan kontestasi atau kompetisi kekuasaan, tetapi bagaimana melaksanakan misi yang tertuang dalam konstitusi UUD 1945 yaitu, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan keadilan sosial.
Kesejahteraan umum yang dimaksud tentu bukan hanya memenuhi kebutuhan materi, tapi juga kesejahteraan psikologis semua warga, sehingga kontestasi perebutan kekuasan seharusnya menjadi ruang tanding untuk memperjuangkan konsepsi dan aspirasi dalam mewujudkan visi dan misi UUD 1945
Bukan dengan politik yang “menghancurkan” lawan politik yang notabene adalah saudara sebangsa dan setanah air, menebarkan isu SARA di ruang publik dan media sosial, sebagai cara untuk memenangkan kontestasi politik, akibat minimnya konsepsi dan aspirasi.
Keragaman Primodial sebagai Identitas Demokrasi Kebangsaan
Sejarah mencacatat bahwa Indonesia dilahirkan oleh para tokoh nasionalis, agama, intelektual dan daerah, bukan karena kesamaan suku bangsa, kesamaan sosial budaya ataupun agama.
Presiden Soekarno dengan tegas menyatakan “Kita ingin mendirikan satu negara, semua buat semua, bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya, tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”.
Pernyataan yang secara terbuka menjelaskan bahwa salah satu titik terlemah indonesia sebagai “identitas diri baru” dalam wadah negara Indonesia, adalah kelahirannya sebagai bangsa yang multikultural.
Sehingga sangat penting untuk menguatkan budaya dan struktur kognisi “kekitaan”, daripada “keakuan” dan “kekamian”, termasuk mengikis budaya “mono kultural” secara sadar, seperti proses perumusan Pancasila, yang digali dan mengakomodasi keberagaman yang multiprimordial, tanpa ada yang merasa lebih unggul.
Termasuk ikrar “Soempah Pemoeda”, pada 28 oktober 1928, yang menyertakan asal organisasi kedaerahan, namun tanpa perdebatan “mayoritas” dan “minoritas”, karena jika melihat jumlah populasi dan sikap etnosentris, maka sangat memungkinkan bahasa persatuan adalah bahasa jawa.
Namun sikap toleransi dan empati serta demi kepentingan bersama dan “ kekitaan ” , bahasa yang digunakan adalah bahasa melayu kecil yang sudah familiar di kalangan masyarakat, yang kemudian dikenal dengan bahasa Indonesia.
Kesadaran indonesia yang lahir bukan dari kesamaan etnis (ethnic nation) atau kesamaan wilayah (nation state), seharusnya menjadi pengingat bagi politisi atau elit untuk tidak memainkan sentimen “identitas lokal” bersifat primordial, untuk mencegah terjadinya benturan antara nilai primordial dan nilai nasional berdasarkan Pancasila.
Karena itu selayaknya panggung demokrasi dijadikan ruang penguatan identitas kebangsaan secara alami dan sistematis tanpa menghilangkan keberagaman “identitas lokal”.
Namun bagaimana diskursus dalam ruang demokrasi ditarik pada satu keterikatan antara identitas primordial dan identitas kebangsaan menjadi kesatuan yang harus saling mendukung.
Disinilah proses demokrasi harus hadir dalam bentuk pertarungan konsepsi dan aspirasi, sebagai ruang reproduksi identitas kebangsaan untuk memaksimalkan amanat konstitusi tentang bagaimana gagasan yang dipertarungkan untuk meraih simpati adalah langkah dan strategi dalam memenuhi hak warga negara di segala bidang.
Termasuk pemerataan pembangunan dan penyamaan kualitas kehidupan antar daerah, penegakan hukum yang tidak tebang pilih dan berkeadilan bagi setiap orang, untuk dapat mengikat emosi menjadi semangat kebangsaan dalam proses berdemokrasi.
Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Inspirasi (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi