Calon Tunggal dan Kegagalan Partai Politik
Selasa, 10 September 2024
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan kepala dan wakil kepala daerah, termasuk menyatakan perolehan suara partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPRD bisa digunakan untuk mencalonkan pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah.
Dalam putusan itu, MK menurunkan syarat untuk mengusulkan pasangan calon hanya didasarkan pada hasil perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik dalam pemilu di daerah bersangkutan mulai dari 6,5-10 persen sesuai jumlah daftar pemilih, secara nyata telah membuka peluang bagi partai-partai politik untuk lebih leluasa mengusung pasangan calon (Paslon).
Keputusan menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah terjadi di saat partai politik sedang menyusun koalisi gemuk di berbagai daerah pemilihan sesuai dengan syarat sebelumnya, yaitu 20% dari kursi DPRD atau 25 % perolehan suara partai di parlemen, namun sayangnya keputusan tersebut ternyata tidak dimanfaatkan bahkan disia-siakan partai-partai politik.
Putusan yang seharusnya sangat memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memberdayakan demokrasi sebagai ruang untuk menyerap aspirasi dan memberdayakan kader partai, ternyata justru berhadapan dengan meningkatnya calon tunggal yang berhadapan dengan kotak kosong, seolah mengisyarakatkan ketidaksiapan partai politik menyiapkan dan mengusung kader dari partai sendiri.
Koalisi gemuk dengan banyak partai politik seolah memberikan cerminan bagimana dominannya praktik kartel politik yang akan membawa pemilih pada situasi yang tidak ideal, karena selayaknya demokrasi adalah kompetisi yang setara, dengan jumlah kontestan yang cukup banyak untuk alternatif pilihan oleh masyarakat
Namun sedikitnya calon dan maraknya calon tunggal, hanya akan menyebabkan masyarakat tidak bisa membandingkan atau memiliki banyak pilihan ide atau gagasan beberapa calon.
Bahkan kehadiran paslon tunggal tentunya telah meniadakan kompetisi adu gagasan, program hingga perdebatan, karena pilihan lainnya adalah memilih kotak kosong sebagai hak para pemilih yang merasa tidak cocok dengan paslon yang disodorkan.
Selain tanpa alternatif pilihan, paslon tunggal juga memiliki potensi praktik kartel politik lanjutan dalam pemerintahan ke depan, karena kemungkinan adalah berjalannya pemerintahan tanpa adanya penyeimbang atau oposisi dalam trias politika, karena lembaga legislatif (DPRD) akan dikuasai oleh koalisi kepala daerah terpilih, sehingga fungsi kontrolnya dikhawatirkan tidak akan berjalan.
Kotak Kosong dan Kemunduran Demokrasi
Fenomena meningkatnya jumlah paslon tunggal yang berhadapan dengan kotak kosong dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 dapat dikatakan sebagai cerminan kemunduran demokrasi, karena masyarakat dikondisikan untuk menghadapi pilihan yang tidak ideal. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan ada 41 daerah dengan pasangan calon tunggal berhadapan melawan kotak kosong.
Pilkada 2024 telah memberikan catatan sejarah dengan jumlah terbanyak paslon tunggal seperti menjadi penanda kemunduran demokrasi karena hilangnya kompetisi adu gagasan, argumentasi hingga alternative program bagi pemilih.
Partai politik ataupun Paslon lebih nyaman dengan pilihan mengambil jalan cepat, yaitu memperoleh kemenangan tanpa pertandingan real dengan strategi memborong seluruh partai dalam perahu besar dengan lawan tidak seimbang bahkan tanpa adanya lawan tentunya membuat perhelatan pilkada hanya akan menjadi semacam formalitas belaka bagi masyarakat.
Seperti koalisi gemuk di Provinsi Sumatra Utara dan beberapa kabupaten/kota yang didukung belasan partai politik dengan lawannya yang hanya didukung satu atau dua partai, termasuk 6 daerah yang hanya memiliki paslon tunggal, yakni Tapanuli Tengah, Asahan, Pakpak Bharat, Serdang Berdagai, Labuhanbatu Utara, dan Nias Utara.
Melonjaknya Pilkada yang diikuti oleh hanya satu paslon dengan kesempatan ambang batas 6,5 – 10 % dari jumlah akumulasi perolehan suara hasil Pemilu Legislatif sejatinya merupakan bentuk pengingkaran esensi demokrasi oleh partai politik. Karena peluang menciptakan pilihan sebanyak-banyaknya dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 60/PUU-XXII/2024 justru melahirkan kontestasi tanpa kompetisi, tanpa debat atau evaluasi bahkan menutup pintu terhadap berbagai alternatif pemikiran.
Salah satu yang menjadi pertanyaan adalah fungsi partai politik dalam mempersiapkan kader yang kompeten untuk bersaing di tingkat daerah, fenomena paslon tunggal seperti memberikan cerminan kegagalan partai politik dalam mempersiapkan kader yang kompeten, termasuk dominasi satu koalisi besar yang seolah mengaburkan pilihan dan persaingan yang kompetitif.
UU Nomor 2 Tahun 2008 Pasal 11 tentang Partai Politik memberikan beberapa penjelasan tentang fungsi partai politik, yakni sebagai berikut, pertama sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, kedua, sarana penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyaraka.
Fungsi ketiga sebagai penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara, keempat, sarana partisipasi politik warga negara Indonesia dan terakhir sarana rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa fungsi utama partai politik adalah mengajarkan dan menyadarkan masyarakat terkait hak dan kewajiban, menyerap dan memperjuangkan aspirasi masyarakat dengan mempersiapkan kepemimpinan dan kaderisasi, dimana parpol yang memiliki fungsi rekrutmen dan mempersiapkan orang dari masyarakat untuk menjadi kader atau anggota partai politik yang mumpuni menjadi calon pemimpin di eksekutif dan legislative.
Menggugat Fungsi Partai Politik
Sejatinya dalam demokrasi bisa dikatakan Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem demokrasi, karena memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan masyarakat.
Bahkan banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan warna demokrasi di suatu negara, seperti yang dikatakan Schattscheider, “political parties created democracy”, yang berarti partai politik sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang demokratik adalah bahwa kedaulatan rakyat hanya mungkin diwujudkan dengan perantara partai politik.
Karena itulah partai politik berfungsi sebagai kendaraan politik para calon kepala daerah melalui rekrutmen untuk diajukan sebagai paslon kepala daerah sebagai penyelenggara politik (pemimpin pemerintahan), menunjukkan peran signifikan partai politik dalam upaya menghasilkan calon-calon pemimpin daerah yang berintegritas dan bisa mengemban amanat rakyat melalui pemilihan kepala daerah.
Tetapi kenyataan yang terjadi saat ini seperti menunjukkan kegagalan partai politik dalam merekrut kader politik yang berkualitas, berdedikasi, dan memiliki loyalitas serta komitmen yang tinggi, terlihat dari usulan partai yang didominasi figur yang memiliki potensi menang tinggi, meskipun didapat dari luar partai dengan alasan agar dapat memenangkan kontestasi.
Hanya dengan berdasarkan elektabilitas survei, konektivitas petinggi partai serta kemampuan finansial, justru pihak yang tidak diketahui masyarakat bahkan pengurus partai di tingkat daerah yang menjadi paslon yang diajukan sebagai calon kepala daerah dalam Pilkada, menjadi sebuah praktek yang mencederai substansi pilkada sebagai ajang demokrasi untuk menghasilkan calon kepala daerah yang kredibel dan akseptabel di mata masyarakat.