Budaya sebagai Pondasi Pariwisata Danau Toba
Selasa, 10 September 2019
Danau Toba adalah danau tekto-vulkanik terbesar di Asia Tenggara, dengan luas mencapai 1.145 kilometer persegi, dengan ketinggian 900 meter di atas permukaan laut, dan kedalaman mencapai 450 meter, menjadikannya salah satu danau terdalam di dunia.
Terbentuk ± 75 ribu tahun yang lalu akibat letusan gunung api super volcano yang begitu dahsyat. Banyak tempat indah dan menarik di kaldera terbesar ini, dari pantai berpasir putih, perkampungan pusuk buhit, peninggalan sejarah suku Batak, hingga panorama yang dikelilingi tujuh kabupaten di Sumatra Utara ini, yaitu Simalungun, Toba Samosir (Tobasa), Tapanuli Utara, Samosir, Karo, Humbang Hasundutan (Humbahas), dan Dairi.
Mungkin akan sangat sulit untuk membandingkan keindahan dan panorama alam Danau Toba dengan tempat wisata lainnya, selaras dengan aspek lokalitas dalam budaya dan adat Batak sebagai identitas yang merupakan nilai hakiki yang dimiliki warga lokal, keunikan alam dan budaya yang seharusnya menjadi pokok dalam gagasan pengembangan industri pariwisata.
Salah satu keunikan dari Danau Toba yang berbeda dari yang ditemukan orang dalam kehidupan sehari-harinya itu adalah budaya. Budaya suku Bangsa Batak yang memiliki ciri khas tersendiri dan sudah berlaku turun temurun, baik dari agama, tradisi, kultur, norma sosial, dan menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Pariwisata berbasis Budaya
Sayangnya, dari semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah terhadap pengembangan pariwisata Danau Toba, nyaris tidak ada yang mengatur tentang pengembangan kebudayaan dan kearifan lokal. Kebijakan yang lahir dominan mengatur pemanfaatan kekayaan untuk kepentingan korporasi dan para pengusaha, tanpa memikirkan konsep pengembangan pariwisata dari sektor kebudayaan atau nilai kultural.
Gagasan mendorong pengembangan industri pariwisata di Danau Toba seharusnya berpijak pada kelestarian alam dan kebudayaan tradisional, tanpa merusak sedikit pun alam dan tatanan kehidupan sosial masyarakat.
Berdasarkan penelitian Citra Pariwisata Indonesia (2003), budaya adalah elemen pariwisata yang paling menarik minat wisatawan untuk datang ke destinasi. Wisata budaya meliputi beragam aktivitas, seperti menyaksikan pertunjukan kesenian, festival kebudayaan, pemukiman tradisional dengan rumah adatnya, museum, dan mengunjungi situs cagar budaya warisan masa lampau atau biasa disebut sebagai wisata pusaka (heritage tourism).
Selama ini pariwisata Danau Toba sangat bertumpu pada potensi alam dan budaya serta sejarah, sehingga pengembangan ke depan seharusnya berfokus pada produk wisata budaya, wisata ekologi dan wisata petualangan.
Bali dan Jogjakarta sudah lama dikenal wisatawan dunia sebagai the best destinations karena mempunyai keunggulan tiga hal, yakni budaya (culture), alam (nature), dan pelayanan (hospitality). Keunggulan budaya bisa dikemas dalam bentuk wisata heritage dan religi, wisata kuliner dan belanja, dan wisata desa unggulan, seperti desa ulos dan desa budaya. Contohnya Tomok, di Kecamatan Simanindo, yang sudah lama dikenal oleh wisman dengan wisata sejarah Raja Siallagan dan sigale gale, Desa Lumban suhi dengan desa ulos, Huta Tinggi di Laguboti sebagai pusat aliran kepercayaan Parmalim,
Sianjur mula – mula atau pusuk buhit sebagai desa yang diyakini desa awal orang Batak, gendang guro guro di tanah Karo dan banyak lagi.
Selain sebagai salah sektor penarik wisatawan, pariwisata berbasis budaya adalah kekuatan sosial untuk meningkatkan pemahaman lintas budaya, motivasi untuk melestarikan budaya dan lingkungan, bahkan dapat memperkuat semangat kebangsaan. Karena melalui pariwisata berbasis budaya itulah wisatawan dapat belajar tentang sejarah, kebudayaan bahkan kesenian lokal, sehingga dapat memahami dan mendalami dinamika perkembangan budaya, kearifan lokal, dan hasil cipta, karya, dan karsa dari suatu masyarakat.
Pengembangan Potensi
1. Kemasan berbagai objek, sejarah, budaya, dan kesenian dalam objek wisata budaya dengan cara yang menarik, dengan teknik penyampaian informasi mengenai nilai-nilai yang terkandung dari suatu destinasi, adat, tarian hingga sejarah yang dilakukan oleh pemandu wisata lokal secara interaktif dan ketersediaan papan informasi dan leaflet, atau menggunakan media digital.
2. Festival Budaya dan Kreatifitas lokal dalam baik berupa musik, Opera, Kuliner, Tarian, dengan melakukan penyebaran ke lokasi – lokasi tertentu terutama yang memiliki Cagar Budaya dan Pemukiman Tradisional yang memiliki sejarah. Sehingga dapat menggugah para pemburu wisata sejarah dan budaya, para wisatawan yang berkunjung dapat belajar tentang nilai-nilai positif dari perjalanan suatu peradaban maupun kebudayaan.
3. Mendorong Community Based Tourism (CBT) atau pariwisata berbasis masyarakat dengan melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program. Menjadikan masyarakat lokal sebagai pemanfaat dan pengelola utama dari kegiatan pariwisata, karena paling memahami kekhasan lingkungan alam dan budaya.
4. Menetapkan standarisasi harga kuliner atau makanan, harga souvenir, harga parkir, harga transportasi hingga harga guide / pemandu wisata, sehingga tidak terjadi kekecewan dari para wisatawan terhadap harga yang dianggap terlalu tinggi.
5. Menjaga penguasaan tanah untuk masyarakat lokal, karena budaya sangat erat kaitannya dengan keberadaan kelompok atau suku yang mendiami perkampungan atau desa, mendorong kesadaran masyarakat untuk melestarikan budaya dan adat istiadat harus seiring dengan kesadaran untuk tetap berdirinya perkampungan dan corak produksi yang merupakan pondasi kelestarian sebuah suku bangsa.
Selain untuk melestarikan budaya bangsa, pariwisata berbasis budaya sangat berpotensi untuk mendorong peningkatan kehidupan komunitas setempat, baik secara ekonomi maupun sosial, penataan dan pemeliharaan objek wisata, dan peningkatan layanan wisata yang berkualitas.
Prinsip pengelolaan yang lebih professional lewat pemutakhiran teknik dan media, pelibatan masyarakat dalam melestarikan budaya, dan menjaga kelestarian sebuah suku bangsa merupakan tuntutan yang tak bisa dipandang sebelah mata dalam dalam industri pariwisata. Dengan mengembangkan berbagai strategi tersebut maka Danau Toba sebagai destinasi pariwisata budaya akan menjadi lebih memesona dan menggairahkan.
Penulis Direktur Eksekutif Perkumpulan Suluh Muda Inspirasi (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi