Banjir dan Longsor Sumut: Warisan Pahit Pengabaian Ekologis

Rabu, 26 November 2025
Banjir dan Longsor Sumut: Warisan Pahit Pengabaian Ekologis

Oleh Direktur Eksekutif SMI

BANJIR dan longsor yang kembali melanda berbagai daerah di Sumatera Utara menunjukkan bahwa bencana tidak lagi berdiri sebagai peristiwa alam semata. Ia adalah konsekuensi langsung dari kerusakan ekologis, warisan pahit dari model pembangunan yang mengabaikan daya dukung alam.

Tragedi banjir dan longsor di Kabupaten Tapanuli Tengah menjadi cermin betapa rapuhnya struktur lingkungan kita. Sebanyak 1.902 rumah terendam, 4 warga meninggal, dan arus air dari hulu mengalir tanpa kendali. Hutan yang hilang tidak lagi menjadi pelindung alami saat hujan deras menampar perbukitan.

Pusdalops Penanggulangan Bencana Sumut (24 November 2025) mencatat longsor serentak di Tapsel, Sibolga, Tapteng dan Nias Selatan—sebuah pola yang mengungkapkan betapa mudahnya tanah runtuh jika akar-akar pepohonan sudah tidak lagi memegang lereng.

Di Simalungun, longsor terjadi pada lereng-lereng yang dahulu hijau, kini berubah menjadi lahan gundul. Setiap hujan deras mengikis tanah dan memicu longsoran mematikan. Catatan serupa muncul pada 27 Maret 2025, ketika longsor menutup jalur nasional di Desa Hutabarat, Pahae Julu, melumpuhkan akses Tapanuli Utara–Tapanuli Selatan.

Kondisi ini bukan kejadian baru. Pada November 2024, banjir menghantam Karo, Padang Lawas, dan Tapanuli Selatan. Labuhanbatu pada periode yang sama memperlihatkan degradasi DAS yang berubah menjadi perkebunan besar, membuat tanah kehilangan kemampuan menahan air.

Setahun sebelumnya, Humbang Hasundutan (2022) menunjukkan pola identik: hilangnya tutupan hutan membuat tanah bergerak tanpa hambatan. Bahkan pada Langkat (2021), banjir bandang menjadi peringatan keras tentang konsekuensi deforestasi sistemik.

Wilayah Danau Toba 2018–2024 pun tidak luput dari siklus bencana yang berulang. Kawasan yang seharusnya menjadi ikon wisata justru menghadapi tekanan ekologis akibat alih fungsi lahan yang tak terkendali.

Kerusakan Ekologis sebagai Pemicu Utama
Data Kementerian LHK mencatat bahwa lebih dari 10.000 hektare hutan Sumut hilang dalam 5 tahun terakhir. Angka ini bukan sekadar statistik, tetapi penanda melemahnya ekosistem dalam menjaga air dan stabilitas tanah.Sedimentasi meningkat di sungai-sungai besar, seperti Wampu, Asahan, dan Barumun.

Sungai semakin dangkal dan banjir lebih cepat terjadi meski curah hujan tidak ekstrem.Wilayah-wilayah yang dulu aman kini berubah menjadi zona merah. Banjir Tebing Tinggi pada 2020 menjadi ilustrasi bagaimana kerusakan di hulu mencekik daerah hilir.

Kota yang sebelumnya tidak dianggap rawan banjir, tenggelam oleh kiriman air dari perbukitan yang telah kehilangan vegetasi. Akar masalahnya adalah deforestasi sistemik dan ekspansi konsesi. Hutan ditebang, bukit digunduli, sungai kehilangan sabuk hijau.

Kebijakan tata ruang pun tidak berdiri sebagai pagar yang melindungi ekologis. RTRW sering kali lentur mengikuti tekanan investasi, bukan mengikuti prinsip keberlanjutan. Lebih parah lagi, perencanaan tata ruang masih berorientasi pada data lama, tidak memasukkan variabel perubahan iklim yang kini mengubah pola hujan, badai, dan musim secara ekstrem.

Peringatan BMKG tentang curah hujan tinggi jarang diterjemahkan menjadi mitigasi lapangan. Akibatnya, hujan deras tidak hanya memicu banjir musiman, tetapi limpasan besar dari hulu yang seharusnya diselimuti hutan. Sementara itu, masyarakat kecil menjadi korban paling terdampak.

Mereka berada di kawasan rawan, berhadapan dengan kerusakan berulang di rumah, sekolah, jalan, dan sawah. Di sisi lain, pemilik konsesi yang aktivitasnya memicu sebagian besar kerusakan tidur nyaman jauh dari titik bencana.

Revitalisasi Ekologi dan Mitigasi Bencana
Krisis ekologis tidak dapat diselesaikan dengan seremonial reboisasi atau penanaman pohon simbolik. Pemulihan ekologis harus dilakukan dengan pendekatan bentang alam (landscape restoration).

Langkah-langkah darurat yang harus dilakukan:
1. Reforestasi hulu DAS secara masif
Memulihkan tutupan hutan di Tapanuli, Simalungun, Danau Toba, hingga dataran tinggi Karo.

2. Audit dan cabut konsesi yang melanggar kaidah ekologis
Pemerintah harus berani menertibkan izinnya, bukan hanya mengumbar slogan “ekonomi hijau”.

3. Penguatan sistem peringatan dini
Menggunakan teknologi murah seperti rain gauge otomatis, sensor tanah, dan jaringan komunikasi warga.

4. Reformasi RTRW berbasis risiko iklim
Tata ruang harus berpihak pada keselamatan ekologis, bukan tekanan modal.

5. Restorasi vegetasi penyangga sungai dan lereng kritis
Mengembalikan fungsi tanah dalam menyerap air dan mengikat struktur geologi.

Sumatera Utara memiliki kekayaan ekologis yang luar biasa, namun terus dikikis oleh ambisi jangka pendek. Jika arah pembangunan tidak berubah, banjir dan longsor akan terus menjadi “warisan turun-temurun”.

Bencana di Tapanuli Tengah dan daerah lainnya bukan hanya peringatan, melainkan panggilan keras: Setiap pohon yang hilang adalah risiko bencana yang menunggu waktunya untuk menghantam kembali.

Saatnya pemerintah pusat dan daerah memutuskan: mempertahankan model pembangunan ekstraktif atau beralih ke pola pembangunan yang menjadikan alam sebagai mitra, bukan korban.

Sumber:


Lainnya

Sabtu, 13 Desember 2025

Penuli Direktur Eksekutif SMINEGARA kembali terlihat gagap menghadapi bencana yang sudah berlangsung lebih dari dua ming

Kamis, 27 November 2025

TertandaKristian Redison SimarmataElfenda AnandaMuhammad Yusuf NasutionPerkumpulan Suluh Muda Inspirasi (SMI) memandang

Rabu, 26 November 2025

Perkumpulan Suluh Muda Inspirasi (SMI) menyatakan keprihatinan yang sangat mendalam dan kemarahan moral atas rangkaian b

Sabtu, 22 November 2025

Penulis Direktur Eksekutif SMIPENGHARGAAN negara berupa gelar kehormatan dan bintang jasa sejatinya dirancang sebagai be

Sabtu, 15 November 2025

Penulis Badan Pendiri SMIAnggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) seharusnya menjadi instrument utama untuk mewujud