Badai Korupsi Sumut yang Tak Kunjung Usai
Selasa, 01 Juli 2025
SEMUA urusan mesti uang tunai. Kalimat yang sering digunakan untuk menjelaskan singkatan dari Sumut yang seharusnya adalah Sumatera Utara. Kalimat itu sudah menjadi semacam istilah tidak resmi untuk menjelaskan kondisi pengurusan proyek, mutasi jabatan, hingga pengadaan barang dan jasa, sampai urusan adminstratif warga, akan “dipermudah” asal ada uang tunai.
Kondisi ini kembali terkonfirmasi saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Kepala Dinas PUPR Sumut, Topan Ginting dan beberapa kontraktor.
OTT KPK itu menghasilkan temuan uang tunai lebih dari Rp 2 miliar yang diduga bagian dari “fee proyek” sebesar 10% dari total anggaran pembangunan jalan di Mandailing Natal.
Data BPS dan Dinas Bina Marga Sumut 2024 mencatat, dari total 3.005 km jalan provinsi, hanya 63,2 persen yang dalam kondisi baik, sementara 36,8 persen sisanya rusak sedang hingga berat.
Sayangnya, alokasi anggaran dan proyek jalan justru menjadi ladang korupsi, dimana anggaran perbaikan jalan rusak disertai 'fee 20%'.
Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dan KPK menunjukkan bahwa pada 2023–2024, Sumatera Utara menempati peringkat ke-5 nasional sebagai provinsi dengan jumlah kasus korupsi terbanyak, setelah Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Riau, dalam dua tahun terakhir, tercatat 170 kasus korupsi, mayoritas melibatkan ASN dan pejabat daerah.
Modus paling dominan adalah manipulasi anggaran (44%) dan pengadaan barang/jasa (42%). Artinya, sejak dari perencanaan hingga realisasi, banyak titik yang dimanfaatkan untuk memperkaya diri, dan semua itu sering diselesaikan dengan cara lama: semua urusan mesti uang tunai.
Luar biasanya, Sumut juga mencatat skor “baik” dalam Indeks Pencegahan Korupsi Daerah (IPKD) 2024 dengan angka 75,02, dan skor 333,5 (kategori “sangat baik”) dalam sistem merit ASN menurut Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
Sayangnya, semua skor tinggi itu ternyata belum mampu mengubah budaya birokrasi yang permisif terhadap korupsi. Di atas kertas terlihat tertib, tapi di lapangan penuh permainan.
Badai Korupsi, Antara Sumpah dan Kerusakan Ekosistim
Setiap ASN memulai pengabdiannya dan jabatannya dengan mengucap sumpah setia kepada negara, tidak menyalahgunakan jabatan, dan menjaga integritas dalam menjalankan tugas.
Namun faktanya kebanyakan sumpah ini seolah hanya menjadi formalitas, walaupun mengucapkan sumpah sembari meletakkkan tangan pada kitab suci masing – masing.
OTT terhadap Kepala Dinas PUPR Sumut bukanlah kecelakaan, melainkan gambaran dari sistem yang longgar terhadap pelanggaran nilai, terutama ketika jabatan dijadikan sebagai privilege, bukan amanah, maka etika mudah dikesampingkan.
Sumpah jabatan juga berlaku bagi kepala daerah, semua kepala daerah berjanji di hadapan Tuhan dan masyarakat untuk memimpin dengan jujur dan adil.
Tapi kenyataannya justru kepala daerah sering kali menjadi bagian dari sistem transaksional, dimana ASN ditekan untuk loyal, bukan profesional.
Sehingga yang disaksikan oleh masyarakat adalah terjadinya pengkhianatan massal terhadap sumpah, karena tidak dilakukan oleh satu-dua orang, tetapi oleh sistem yang menjadikan ketidakjujuran sebagai jalan peningkatan karier.
Sumatera Utara punya catatan panjang soal kepemimpinan yang terjerat korupsi. Dari 2 gubernur secara berturut, 3 Wali Kota Medan secara berturut, dan banyak kepala daerah lainnya menyisakan skandal.
Kepemimpinan yang bermasalah, tentunya diikuti di tingkat SKPD, dimana banyak pimpinan OPD juga ikut terlibat dalam skema suap proyek, jual-beli jabatan, dan penyelewengan anggaran, sehingga fenomena “cari aman jabatan dengan setoran” menjadi rahasia umum.
Dengan situasi ini, kepemimpinan tidak lagi menjadi alat perbaikan, tetapi justru memperkuat kerusakan sistem. Karena saat pimpinan tertinggi memberi contoh buruk, maka nilai profesionalisme ASN akan rusak dari hulu.
Menjelang Pilkada 2024, data dari BKD Sumut menyebut lebih dari 100 jabatan eselon II dan III kosong, maka kemungkinan besar momen ini bisa dimanfaatkan oleh aktor politik untuk menanam loyalis atau “membeli” posisi dengan uang tunai, dan inilah ancaman paling nyata terhadap sistem merit.
Salah satu penyebab korupsi masif adalah lemahnya pengawasan. Penilaian BPKP menunjukkan bahwa maturitas (tingkat kematangan atau proses) sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) Pemprov Sumut masih berada di level berkembang. Artinya, fungsi Inspektorat belum optimal mendeteksi penyimpangan sejak tahap awal.
Sementara itu, kinerja Kejaksaan Tinggi Sumut selama 2023 menjadi indikator lain: ada lebih dari 190 perkara korupsi yang ditangani, dan Rp 36 miliar uang negara berhasil diselamatkan. Tapi sayangnya semua terjadi ketika korupsi sudah terjadi, bukan pencegahan sejak dini.
Data kejaksaan tentunya memperlihatkan bagaimana SPIP hanya menjadi laporan administratif, karena Inspektorat tidak bersikap “ independen “ akibat tekanan politik dan kepentingan yang melemahkan pengawasan internal.
Masalah lain adalah rusaknya mekanisme karier ASN karena politik balas budi dan patronase, di banyak instansi, promosi jabatan lebih ditentukan oleh kedekatan, bukan kapabilitas dan kapasitas.
Ini menyebabkan munculnya “kultur diam”, di mana ASN memilih bungkam terhadap penyimpangan karena takut dimutasi atau dibekukan, karena ketika dianggap melawan bisa dikategorikan tidak loyal, sehingga yang terjadi adalah birokrasi yang penuh dengan kepura-puraan.
Sementara itu, ASN yang sejatinya ingin bersikap jujur dan berlandaskan sumpah jabatan akhirnya sering terpaksa berkompromi dengan system, yang berujung pada stagnasi inovasi, merosotnya moral dan integritas, hingga memburuknya pelayanan publik
Kembali ke Integritas Sumpah Jabatan, Bukan Sekadar Skor
Perbaikan birokrasi tidak cukup dengan reformasi teknis, tapi lebih pada revolusi nilai dan budaya, karena persoalannya bukan pada regulasi, tapi pentingnnya pembenahan moral secara sistemik.
Beberapa langkah konkret harus segera dilakukan, yakni:
1. Sumpah jabatan ASN harus diberi makna kembali: monitoring serta evaluasi praktek integritas dan etika secara berkala, bukan hanya saat awal pengangkatan
2. Pemimpin daerah wajib jadi teladan: tidak ada reformasi birokrasi jika kepala daerah sendiri terlibat praktik curang
3. Pengawasan internal harus diperkuat struktural dan anggaran: beri wewenang lebih besar kepada Inspektorat untuk menghentikan pelanggaran sejak dini
4. Seleksi terbuka jabatan harus dikawal oleh KASN dan masyarakat sipil, apalagi menjelang dan setelah Pilkada
5. Budayakan keterbukaan dalam anggaran, pengadaan, dan mutasi jabatan: agar tidak ada lagi ruang bagi “semua urusan uang tunai
Sejatinya seluruh kepala daerah memiliki semua perangkat untuk menjadi daerah yang bersih: sistem merit, transparansi digital, SDM profesional, dan dukungan regulasi pusat, tapi semua itu tidak akan berguna jika nilai moral tidak ada, karena negara ini tidak kekurangan aturan, tapi kekurangan keberanian untuk mematuhi sumpah.
Statistik korupsi dan skor merit Provinsi Sumatera Utara seperti gelombang yang berlawanan: penindakan makin tajam, indeks tata kelola membaik, tetapi praktik korupsi terus mencari celah, reformasi struktural tanpa revolusi budaya hanya meninggalkan paradoks—birokrat berlabel “sangat baik” yang gemar menjual paket proyek.
Penulis Penggiat HAM dan Demokrasi