APBD Sumut 2025 Alami 6 Kali Pergeseran Anggaran Berujung OTT KPK Topan Ginting Cs
Selasa, 07 Oktober 2025
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sumut 2025 mengalami pergeseran hingga 6 kali, yakni 2 kali saat Pemprov Sumut dijabat Pj Gubernur Agus Fatoni dan 4 kali saat dijabat Gubernur Bobby Nasution.
Pergeseran anggaran ke-3-ke-6 di era Gubernur Sumut, Bobby Nasution lebih banyak menyentuh alokasi belanja modal di Dinas PUPR Sumut, yang akhirnya berujung terjadinya operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap Kepala Dinas PUPR Sumut, Topan Ginting dan 5 orang lainnya dalam kasus dugaan suap pengaturan proyek infrastruktur peningkatan jalan provinsi ruas Hutaimbaru–Sipiongot, Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta), Sumatera Utara, dengan total jumlah suap Rp.4,054 milliar.
Hal itu mengemuka dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Perkumpulan Suluh Muda Inspirasi (SMI), di Medan, Senin (6/10/2025).
Tampil sebagai narasumber Elfenda Ananda ST MSP (Analis Kebijakan FITRA Sumut/Badan Pendiri SMI), Dr Farid Wajdi SH MH (Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU)/Mantan Komisioner Komisi Yudisial RI dan Siska Barimbing (Sekretariat Nasional FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran). Moderator Kristian Redison Simarmata (Direktur SMI).
Siska yang mengulas perspektif nasional dan perbandingan antar daerah dalam praktik pergeseran APBD, serta bagaimana inisiatif open budget dapat memperkecil ruang korupsi struktural mengatakan bahwa pergeseran anggaran dalam APBD diperbolehkan sesuai Permendagri 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah.
Dalam aturan itu, papar Siska, kepala daerah boleh melakukan beberapa kali perubahan penjabaran APBD melalui peraturan kepala daerah)
dalam 1 tahun anggaran sepanjang tidak mengubah Perda APBD.
Perubahan penjabaran APBD tersebut, di antaranya karena adanya pergeseran anggaran antar kegiatan atau antar unit, penyesuaian pendapatan dan belanja akibat keadaan tertentu (target pendapatan tidak tercapai), penyesuaian transfer pusat dan sebagainya, perubahan pemerintah (presiden baru, kepala daerah baru) sehingga harus menyesuaikan dengan visi misi pemerintahan baru.
Menurut Siska, perubahan Perkada tentang penjabaran APBD tidak memerlukan persetujuan DPRD, karena tidak mengubah subtansi Perda APBD, namun harus disampaikan kepada pimpinan DPRD paling lama 1 bulan setelah ditetapkan.
Namun, papar Siska, yang menjadi masalah dalam proses perubahan anggaran (penjabaran APBD maupun P-APBD) pemerintah daerah pada umumnya tidak transparan.
Pemerintah daerah haruslah mengumumkan setiap dokumen Perkada dan Perda terkait anggaran dengan mempermuda publik untuk mengakses informasi anggaran
"Setiap rencana perubahan dipublikasi ke masyarakat sehingga masyarakat memahami landasan perubahan APBD. DPRD harus lebih aktif dalam melakukan fungsi pengawasan dan fungsi anggaran. Tidak hanya menunggu pemberitahuan dari pemerintah daerah tetapi aktif melakukan pengawasan dalam pelaksanaan anggaran," kata Siska yang salam FGD itu tampil lewat google meet.
Kondisi Mendesak
Sementara itu, Elfenda Ananda yang mengurai data faktual 6 kali pergeseran APBD Sumut 2025, pola alokasi belanja modal, dan indikasi penyimpangan administratif berdasarkan analisis dokumen keuangan daerah, mengungkap bahwa perubahan anggaran sebagaimana diatur dalam Permendagri No 77/2020 dilakukan dalam kondisi tertentu.
Kondisi dimaksud dalam situasi mendesak atau perubahan prioritas pembangunan baik di tingkat nasional atau daerah. Untuk keadaan darurat termasuk keperluan mendesak yang tidak dapat diprediksi sebelumnya, maka anggaran yang digeser berasal dari belanja tidak terduga kepada belanja SKPD.
Ia juga mencontohkan surat Bupati Nias Barat Nomor 300 2/644/2025 tertanggal 7 Maret 2025 perihal laporan kejadian bencana alam dan permohonan bantuan penanganan darurat, yang seharusnya terkait belanja tidak terduga untuk bencana alam, namun malah dilakukan melalui pergeseran anggaran.
Elfenda pun menyimpulkan bahwa dari sisi regulasi, pergeseran anggaran untuk proyek infrastruktur peningkatan jalan provinsi ruas Hutaimbaru–Sipiongot, Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta), Sumatera Utara yang berunjung terjadinya OTT Topan Ginting Cs memang tidak memenuhi unsur situasi darurat dan mendesak, apalagi mekanisme dalam memasukkan proyek bernilai ratusan miliar tersebut.
Ia menjelaskan secara rinci kronologi 6 kali pergeseran anggaran APBD 2025 yang dilakukan tanpa konsistensi kebijakan pembangunan, dengan menyoroti anomali waktu pelaksanaan pergeseran yang dalam beberapa kasus dilakukan dalam hitungan hari, sementara menurut sistematika regulasi, setiap pergeseran seharusnya melalui tahapan, yakni evaluasi usulan SKPD, pembahasan TAPD, pengesahan gubernur, dan pemberitahuan resmi kepada DPRD.
Elfenda menegaskan bahwa pola pergeseran semacam ini tidak mungkin terjadi tanpa restu dari kepala daerah, namun regulasi Permendagri tentang efisiensi dan Permendagri keadaan darurat sejak pandemi Covid-19 dijadikan celah untuk mengalihkan dana dari pos biaya tak terduga ke proyek infrastruktur yang tidak mendesak.
Kemudian bahwa praktik pergeseran anggaran yang tidak transparan merupakan gejala korupsi sistemik dalam tata kelola daerah, termasuk dugaan bahwa proyek pembangunan seringkali muncul terlebih dahulu sebelum perencanaan formal dilakukan, menandakan adanya pola reverse budgeting — perencanaan disusun untuk menyesuaikan proyek yang sudah ditetapkan secara politis
Menurutnya, penyalahgunaan pos biaya tak terduga untuk proyek jalan dan jembatan memperlihatkan manipulasi konseptual terhadap makna “keadaan darurat” dalam keuangan daerah, dan menilai bahwa pola ini menunjukkan konspirasi birokrasi dan kontraktor yang difasilitasi oleh kelonggaran pengawasan DPRD.
Sedangkan Farid Wajdi menekankan dimensi hukum dan kewenangan yudisial dalam membongkar praktik korupsi semacam ini, dengan menyatakan bahwa kewenangan hakim dalam perkara korupsi bersifat substantif, tidak hanya terbatas pada kelengkapan administratif, seperti dokumen SK Gubernur atau DPA-SKPD
Menurutnya, hakim berwenang menelusuri motif, jaringan, dan hubungan politis antara pengambil kebijakan dan pelaksana proyek.
Oleh karena itu, permintaan majelis hakim agar Gubernur Sumatera Utara dihadirkan sebagai saksi adalah langkah penting dalam menembus batas formalisme birokrasi menuju pembuktian substantif.
Farid juga menyoroti kemungkinan dihadirkannya DPRD sebagai saksi, mengingat lembaga tersebut memiliki fungsi budgeting dan oversight sebagaimana diatur dalam UU No. 23/2014 dan UU No. 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).