TPL: Retaknya Kohesi Sosial Masyarakat

Jumat, 31 Oktober 2025
 TPL: Retaknya Kohesi Sosial Masyarakat

Penulis Direktur Eksekutif SMI

SERUAN penutupan PT Toba Pulp Lestari (TPL) kembali menggema, namun bukan sekadar suara demonstran di jalanan, melainkan suara dari lintas denominasi gereja, yang menegaskan bahwa kerusakan kawasan Danau Toba bukan hanya soal teknis industri, tapi pelanggaran terhadap keadilan ekologis, spiritualitas tanah dan hak hidup.

Maka, selayaknya gereja menegaskan posisi moralnya, dengan menuntut meninjau ulang izin operasional PT TPL. Seruan yang merupakan kelanjutan dari persoalan di era PT Inti Indorayon Utama (IIU) yang beroperasi sejak 1989, dengan izin Hutan Tanaman Industri seluas ±188.000 ha di wilayah strategis tangkapan air ekosistem Danau Toba.

Persoalan yang menjadi simbol kegagalan tata kelola sumber daya alam, serta benturan antara kepentingan investasi dan keberlanjutan lingkungan, sekaligus menyingkap kegagalan negara menempatkan alam sebagai subjek keadilan, namun menjadikannya objek eksploitasi ekonomi.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2022 menunjukkan lebih dari 55% area konsesi TPL telah beralih dari hutan alam menjadi monokultur eukaliptus, tanaman cepat tumbuh untuk bahan baku pulp.

Beberapa studi tahun 2023 mencatat 42 titik longsor dan 27 area rawan kekeringan di sekitar kawasan operasi TPL. Terjadinya perubahan pola tanam serta menurunnya hasil pertanian akibat degradasi kesuburan tanah, karena tanah kehilangan tutupan hutan yang menjaga kelembapan dan cadangan air tanah.

Kerusakan yang diperparah oleh keterlambatan penanganan, evaluasi izin HTI oleh KLHK pada 2016 sebenarnya merekomendasikan pengurangan luas izin hingga 25%, tetapi implementasinya tertunda hingga kini.

Pemerintah juga menghadapi dilema antara penerimaan pajak dan keberlanjutan lingkungan. Aibatnya, kerusakan terus berlangsung tanpa langkah pemulihan untuk merehabilitasinya secara terukur dengan melibatkan masyarakat terdampak.

Keadilan Ekologis, Tanah Leluhur dan Kebutuhan Perut
Keadilan ekologis tidak hanya menyangkut kerusakan fisik lingkungan, tetapi juga soal ketimpangan kekuasaan dalam menentukan siapa yang berhak mengelola dan mendapatkan manfaat dari alam.

Dalam kasus TPL, ketimpangan ini terlihat sejak awal, dimana izin HTI diberikan tanpa konsultasi yang memadai dengan masyarakat yang telah hidup di kawasan itu selama ratusan tahun dan tumpang tindih dengan tanah ulayat masyarakat.

Setidaknya 54 warga pernah berhadapan dengan proses hukum antara 2019 hingga 2024 karena dituduh menggarap kawasan konsesi TPL, padahal sebagian wilayah itu merupakan lahan pertanian turun-temurun.

Ketimpangan yang menggambarkan kegagalan negara melindungi hak konstitusional warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 28H UUD 1945, keadilan ekologis dalam UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup seolah tidak pernah hadir.

Persoalan TPL, akhirnya bukan hanya tentang hutan yang hilang atau air yang tercemar, tetapi juga soal retaknya kohesi sosial masyarakat.
Sejak gelombang penolakan menguat, muncul polarisasi tajam antara kelompok yang menolak dan mendukung keberadaan TPL

Kelompok penolak menilai perusahaan sebagai simbol ketidakadilan struktural dan sumber bencana ekologis, di sisi lain kelompok pendukung menilai sebagai sumber lapangan kerja.

Antara warga yang bekerja di pabrik dan kontraktor lokal dengan warga yang tanahnya tergerus konsesi, airnya tercemar limbah dan ekosistem pertanian atau perikanan yang menurun produktivitasnya.

Ketegangan sosial sebagai gejala ketimpangan yang berujung pada konflik horizontal dari pertikaian terbuka, gesekan penguasaan lahan, perbedaan pandangan terhadap perusahaan, blokade jalan, saling lapor ke aparat.

Bukan karena saling benci, konflik yang tidak hitam-putih, namun dilema antara menoleransi kerusakan demi penghidupan atau menuntut penutupan untuk melindungi hak dan masa depan anak cucu, benturan autentik tanah leluhur dan kebutuhan hidup.

Sementara pemerintah cenderung pada pendekatan stabilitas investasi dan kesulitan mengambil posisi karena ketergantungan terhadap perusahaan dan mengabaikan akar persoalan, yang justru memperdalam permasalahan.

TPL sendiri menampilkan diri sebagai penggerak ekonomi lokal, dengan menyebut telah menyerap ±5.000 tenaga kerja langsung dan tidak langsung serta berkontribusi terhadap penerimaan daerah melalui pajak dan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).

Narasi yang tidak sepenuhnya sesuai kenyataan. BPS Provinsi 2023 memperlihatkan kontribusi sektor industri pengolahan, termasuk pulp dan kertas, pada PDRB Kabupaten Toba 7,4%, sementara pertanian, kehutanan dan perikanan mencapai 29,1%.

Data yang menunjukkan bahwa manfaat ekonomi industri pulp tidak berhasil membentuk ekosistem ekonomi lokal yang berkelanjutan, karena sumber pendapatan utama warga masih berasal dari pertanian subsisten dan hasil hutan non kayu.

Termasuk potensi ekonomi dari pariwisata alam, budaya dan agroforestry, karena ekosistem Danau Toba yang merupakan destinasi super prioritas yang dapat dikembangkan tanpa merusak lingkungan.

Kebijakan yang memprioritaskan industri ekstraktif, justru menghambat diversifikasi ekonomi berkelanjutan yang diarahkan pada sektor hijau, seperti pertanian organik, industri rumahan dan wisata berbasis komunitas tanpa mengorbankan lingkungan, karena alam bukan hanya sekadar sumber daya, tetapi rumah kehidupan yang harus dijaga.

Ketika negara berpihak pada investasi, masyarakat menjadi pihak yang harus menanggung beban ekologis dan sosialnya, kebijakan yang mencerminkan paradigma orientasi ekonomi jangka pendek.

Pernyataan TPL termasuk industri strategis, yang dijaga keberlanjutannya untuk mendukung ekspor adalah wajah ketergantungan indonesia pada komoditas mentah, yang menempatkan alam sebagai instrumen ekonomi, bukan aset ekologis.

Kebijakan yang justru memperlihatkan lemahnya prinsip ekonomi hijau dan pembangunan berkeadilan, kasus TPL menunjukkan bahwa keberlanjutan lingkungan adalah subordinat dari kepentingan ekonomi dan politik.

Maka praktik eksploitasi alam tanpa keadilan adalah bentuk dosa struktural terhadap tanah leluhur, sehingga persoalan kerusakan lingkungan bukan sekadar tuntutan ekonomi, tetapi panggilan etis untuk generasi berikutnya.

Keberlangsungan operasional TPL tentunya tidak bisa dilepaskan dari jaringan kekuasaan ekonomi politik, karena pemegang saham utamanya memiliki koneksi kuat di level nasional dan global, dengan jejaring dari pemerintah pusat hingga daerah.

Maka publik dan gereja lintas denominasi harus menciptakan tekanan moral yang sulit diabaikan, pemuka agama sejatinya adalah aktor dari kekuatan sosial yang menegaskan batas etika pembangunan, untuk menata ulang relasi antara manusia, alam dan negara.

Rekonsiliasi Ekologis dan Restorasi Sosial
Seruan “Tutup TPL” harus dibaca untuk menata ulang paradigma pembangunan, terutama keseriusan dalam menegakkan prinsip keadilan ekologis.

Dimulai dengan audit lingkungan independen seluruh kegiatan industri pulp, dengan hasil audit terbuka untuk publik dan menjadi dasar kebijakan restrukturisasi izin usaha.

Memulihkan hak masyarakat melalui pengakuan formal atas wilayah adat, sebagaimana Putusan MK No 35/PUU-X/2012, sebagai dasar masyarakat untuk mengelola hutan, sekaligus mencegah konflik horizontal berulang, dengan mengarahkan pembangunan ekonomi pada pengintegrasian kearifan lokal, konservasi dan teknologi hijau.

Kasus TPL bukan sekadar persoalan lokal, tetapi cermin bagaimana negara memperlakukan alam dan warganya. Selama paradigma pembangunan masih bertumpu pada eksploitasi, tragedi ekologis akan terus berulang dalam rupa berbeda, dari hutan Kalimantan hingga pesisir Papua.

Sumber:


Lainnya

Sabtu, 13 Desember 2025

Penuli Direktur Eksekutif SMINEGARA kembali terlihat gagap menghadapi bencana yang sudah berlangsung lebih dari dua ming

Kamis, 27 November 2025

TertandaKristian Redison SimarmataElfenda AnandaMuhammad Yusuf NasutionPerkumpulan Suluh Muda Inspirasi (SMI) memandang

Rabu, 26 November 2025

Oleh Direktur Eksekutif SMIBANJIR dan longsor yang kembali melanda berbagai daerah di Sumatera Utara menunjukkan bahwa b

Rabu, 26 November 2025

Perkumpulan Suluh Muda Inspirasi (SMI) menyatakan keprihatinan yang sangat mendalam dan kemarahan moral atas rangkaian b

Sabtu, 22 November 2025

Penulis Direktur Eksekutif SMIPENGHARGAAN negara berupa gelar kehormatan dan bintang jasa sejatinya dirancang sebagai be