Suap, Gratifikasi, Konflik Kepentingan dan Peringkat IPK Indonesia
Sabtu, 13 Januari 2024
INDEKS Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia mengalami penurunan pada 2022, yakni tercatat berada di peringkat ke-110 dari 180 negara yang disurvei. Skor turun dari 38 pada 2021 menjadi 34. Penurunan empat poin dalam skoring menjadi paling drastis sejak 1995.
Praktik suap, gratifikasi hingga konflik kepentingan antara politisi, pejabat publik dan pelaku usaha seperti semakin masif terjadi, termasuk praktik korupsi yang melibatkan aparat dari lembaga penegakan hukum.
Dalam berbagai jajak pendapat ataupun survei nasional, dengan hasil memberikan persoalan yang dianggap paling mendesak buat diselesaikan adalah penciptaan lapangan pekerjaan (37,3 %), pemberantasan korupsi di urutan kedua (15,2 %) dan tingginya harga kebutuhan pokok sebanyak (10,6%).
Jika diteliti lebih jauh maka pangkal permasalahan sebenarnya adalah tingginya praktik korupsi. Kondisi ini sangat menghambat gerak penciptaan lapangan kerja dan kemampuan keuangan negara untuk menurunkan harga kebutuhan pokok. Korupsi menyebabkan kerugian finansial bagi negara yang berarti sejatinya merupakan kejahatan kemanusiaan.
Dapat dikatakan bahwa korupsi merupakan ancaman utama dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Berdasarkan data Transparancy Internasional Indonesia 2018, hampir 30-40 persen Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan serta Belanja daerah (APBD) hilang akibat korupsi.
Walaupun telah menggunakan sistem e-government (Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik )untuk menjadikan birokrasi yang efisien, transparan dan akuntable, faktanya perkara korupsi terbanyak justru ada pada pengadaan barang serta jasa yang berkaitan dengan pemerintahan, yaitu sebesar 70 persen.
Pondasi Birokrasi Bersih
Capaian Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia dengan skor jauh dari skor 50 sebagai ambang batas skor, telah mengindikasikan Indonesia mempunyai masalah korupsi yang serius
Birokrasi merupakan salah satu pilar utama dalam sistem pemerintahan suatu negara, terutama dalam pelaksanaan kebijakan publik dan penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat.
Tetapi persoalan tingginya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme seolah tidak bisa terselesaikan sejak dari jaman kolonialisme hingga saat ini. Sedangkan penegakan hukum yang seharusnya menjadi instrumen penting untuk memperbaiki tata kelola dan memastikan keberlanjutan reformasi birokrasi juga terlihat tidak berdaya.
Penegakan hukum seharusnya menjadi katalisator untuk memaksimalkan reformasi birokrasi, karena hanya penegakan hukum yang tegas tanpa pandang bulu yang dapat memaksa birokrat untuk lebih profesional dalam menjalankan tugasnya dan pelayanan publik, menghambat praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Karena penegakan hukum yang konsisten serta memiliki efek jera terhadap pelaku pelanggaran dalam birokrasi adalah langkah krusial untuk mencegah tindakan yang merugikan negara dan masyarakat.
Selain itu, penegakan hukum yang konsisten juga berkontribusi dalam membangun kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintahan, menegaskan prinsip keadilan, dan memperkuat budaya etika di dalam birokrasi.
Penegakan hukum sendiri memiliki tantangan dari internal bahkan mungkin dari kepala pemerintahan di masing–masing jenjang, dengan berusaha menghambat atau menghindari proses hukum sebagai respons terhadap upaya menyelamatkan kepentingan pribadi ataupun kelompoknya.
Karena itu sangat diperlukan langkah khusus untuk mengatasi tantangan internal dari dalam birokrasi terhadap upaya penegakan hukum, dengan memastikan terlebih dahulu perbaikan terhadap appatur dari lembaga penegak hukum.
Yang dimulai dari peningkatan transparansi dan penguatan mekanisme pengawasan perkara yang dilaporkan, ditangani hingga putusan hukumnya, termasuk melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam memberikan pengawasan untuk meminimalisir upaya pengaburan perkara hingga jual beli hukum dari aparat penegak hukum.
Karena salah satu penyebab semakin subur dan tingginya angka serta budaya korupsi, termasuk dari lembaga hukum, adalah perilaku menggigit pejabat atau pelaku usaha tanpa adanya tindakan pencegahan sedari awal dari oknum penegak hukum
Dan yang paling pahit adalah pernyataan Menko Polhukam Pro. Mahfud MD, tentang kekacauan kondisi hukum, akibat dari rendahnya mentalitas para penegak hukum karena masih banyak nafsu dan keserakahan dalam diri oknum penegak hukum.
Walaupun sudah banyak perbaikan peraturan dan undang–undang serta sistem hukum, namun persoalan mentalitas tetap menyebabkan terjadinya praktek rekayasa pasal, manipulasi barang bukti dan berbagai modus lainnya, dari proses menjerat, membebaskan hingga memenangkan pihak berperkara, yang menurut Prof. Mahfud menjadikan hukum sebagai industri yang bisa diperdagangkan.
Pengaruh penegakan hukum yang dimulai dari aparat penegak hukum akan memberikan peringatan keras bagi banyak pihak, seperti, pejabat publik dan birokrasi, sekaligus menciptakan landasan yang kuat bagi pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien.
Harapan Penegakan Hukum
Salah satu tantangan terbesar dalam mendorong penegakan hukum yang konsisten adalah menghadirkan kepemimpinan nasional yang teruji dan memiliki rekam jejak yang mempunyai karakter adil, jujur, antikorupsi, dan juga tidak mengedepankan kepentingan pribadi.
Tantangan tersebut dikarenakan saat ini Indonesia membutuhkan teladan dan praktek nyata dari kepemimpinan nasional yang akuntabel dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas konstitusinya.
Dalam Pemilu 2024, terutama Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden salah satu yang harus menjadi pertimbangan bagi pemilih adalah rekam jejak dari pasangan calon yang memungkinkan segera melakukan evaluasi kepada seluruh lembaga penegak hukum untuk memperbaiki berbagai penyelewengan hukum, agar terhindar dari sebutan industri hukum yang di istilahkan oleh Menkopolhukam Prof Mahfud MD.
Karena sudah seharusnya hukum dikembalikan kepada nilai keadilan ditengah masyarakat sebagai sumber kelahirannya, dengan menajamkan kepekaan sosial para aparatur penegak hukum dalam menggali nilai keadilan yang hidup di tengah masyarakat secara otomatis dan terukur dalam proses penegakan hukum.
Sehingga apparatur atau pelaksana tak sekedar penegak hukum tapi sebagai penegak keadilan yang mengedepankan penyelesaian dengan asas dan nilai kemanusiaan dengan setara, yang tidak hanya mencari sanksi atau hukuman lewat tumpukan pasal dan kertas.
Jika lembaga dan apparat penegakan hukum dapat diperbaharui maka satu langkah menuju reformasi birokrasi yang lebih transparan, akuntabel, dan responsive akan lebih mudah dijalankan.
Sinkronisasi konsistensi penegakan hukum yang bersih dan transparan dengan reformasi birokrasi yang efektif dan efiesien akan menjadi pilar utama dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, karena hanya dengan perbaikan kualitas penegakan hukum dan birokrasi, yang mampu memperbaiki kehidupan ekonomi, sosial, demokrasi dan kemanusiaan bangsa negara.