Runtuhnya Moralitas Sebuah Bangsa

Sabtu, 29 Oktober 2022
 Runtuhnya Moralitas Sebuah Bangsa

ANGIN perubahan reformasi ternyata mengalami pergeseran paradigma dan perilaku para politisi, penyelenggara negara dan masyarakat yang terkesan mengabaikan nilai etika dan moralitas dengan mengakali serta mempermainkan hukum. Banyak kasus yang menyeret para penyelenggara negara, seperti DPR, menteri, pejabat publik terpidana korupsi, polisi terlibat perdagangan narkoba, jaksa dan hakim menerima suap, kekerasan dan pelecehan seksual di lembaga agama dan pendidikan, seperti menegaskan krisis etika dan moralitas yang teramat parah

Padahal etika dan moralitas jauh lebih substansi dan fundamental dalam mengatur tata kelola penyelenggaran negara, karena berlaku tidak tertulis dan lahir dari kesadaran setiap orang yang jauh berbeda dengan hukum yang merupakan sebuah paksaan kepatuhan. Etika merupakan nilai yang teramu dari saripati budaya, adat istiadat, agama dan berlaku turun termurun, yang seharusnya tidak boleh dilanggar sebagai acuan, karena menuntut kesadaran untuk mampu mengatur kehendak dalam diri bagi setiap orang

Dari etika muncullah penilaian terhadap layak atau tidaknya sebuah tindakan, ucapan dan perilaku, atau sering disebutkan etis atau tidak etis, sehingga ketika etika diabaikan sebagai prinsip dasar, maka secara otomatis mengabaikan nilai moralitas dalam masyarakat. Maka etika individu berfungsi untuk menjaga dan mempertahankan nama baik sebagai pribadi yang bermoral, dan etika umum sebagai acuan pada kewajiban dan hak, sikap dan perilaku terhadap sesama. Sedangkan etika lingkungan berkaitan dengan hubungan antarsesama sebagai individu ataupun sebagai kelompok dengan lingkungan alam.

Krisis Etika dan Moralitas
Etika secara substansi seharusnya menjadi nilai utama bagi masyarakat, penyelenggara negara dan politisi dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tatanan terbaik dari ekonomi, politik dan sosial adalah ketika semua pihak dan elemen memiliki standar yang tinggi dalam menilai kualitas etika dan moral

Pada awal reformasi MPR-RI mengeluarkan Ketetapan MPR RI No VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, dimana kelahiran aturan ini dipengaruhi oleh melemahnya pemahaman terhadap etika berbangsa, bernegara, dan beragama. Kondisi yang tercermin dari maraknya konflik sosial, menurunnya sopan santun dan budi pekerti, melemahnya kejujuran, menghilangnya semangat pengabdian dalam penyelenggaran negara, hingga minusnya sikap mengayomi dan teladan, justru yang mengemuka adalah arogansi dari permainan hukum untuk kepentingan pribadi dan golongan

Sejak reformasi 1998 sudah tidak terhitung sebenarnya politisi dan penyelenggara Negara yang terseret kasus hukum, walaupun setiap sumpah jabatan selalu diikuti dengan pakta integritas serta sumpah dengan kitab suci, namun berbagai pelanggaran justru merajalela. Terutama jika melihat banyaknya para penegak hukum, seperti polisi, jaksa hingga hakim yang melanggar hukum, hingga para pejabat publik yang berlaku jauh dari prinsip integritas, seolah memberi gambaran keruntuhan etika dan moralitas secara umum.

Yang paling miris para pejabat publik atau penegak hukum yang terindikasi terseret persoalan hukum masih tetap berusaha menjaga jabatannya tanpa memiliki rasa tanggung jawab atas sebuah persoalan, dengan cara berdalih, menyusun alibi atau mengorbankan pihak lain.

Secara sadar atau tidak sadar situasi ini mengisyaratkan keruntuhan bangunan moralitas sebuah bangsa, karena masyarakat kehilangan contoh nyata etika dan moralitas dari para penyelenggara negara, politisi, tokoh agama, hingga dunia pendidikan. Padahal contoh atau teladan adalah adalah kunci mutlak untuk merawat kepercayaan publik dalam bernegara, sayangnya kebanyakan politisi dan penyelenggara negara lebih sering mempertontonkan pengabaian nilai etika dan moralitas dalam keseharian dan pelaksanaan kewenangannya.

Sebagai pihak yang dipercaya publik dalam menata kehidupan sosial, politik dan ekonomi, seharusnya etika adalah perangkat utama basis tindakan setiap penyelenggara negara dan politisi diluar aturan yang melekat pada peran dan fungsinya. Yang dimulai dari etika individu sebagai cermin integritas pribadi atau moral seseorang, karena etika individu akan mempengaruhi perilaku sosial, politik dan ekonomi dalam etika umum, apalagi terhadap etika politik yang dilakukan menurut kerangka konstitusi, hukum, adminsitrasi dan sebagainya.

Termasuk etika dalam menyampaikan aspirasi terkait kebijakan pemerintahan, antara pihak pendukung dan tidak mendukung pejabat publik, atau berbagai kepentingan individu dan golongan yang sering mengabaikan kualitas etika dan moralitas. Dengan berbagai fasilitas dan aplikasi teknologi untuk menyampaikan tanggapan atau aspirasi justru sering disampaikan melalui cara yang bertentangan dengan etika dan moralitas bahkan hukum yang berlaku, hanya demi memenuhi egoisme yang tidak mempertimbangkan hak dan kerugian pihak lainnya.

Fenomena krisis etika dalam penyelenggaran negara ini terutama disebabkan oleh ketidaksadaran para pejabat publik dan penegak hukum sebagai cermin negara bagi masyarakat, yang kemudian diikuti permisivisme dari masyarakat sendiri yang seolah mengaminkan pelanggaran etika pihak yang didukungnya atau lingkarannya. Kemudian praktik pelanggaran etika bahkan hukum ini kemungkinan disebabkan karena hitungan keuntungan pelanggaran lebih besar dari kerugian yang dialami, atau sederhananya pelaku meyakini pelanggaran lebih mendapatkan insentif yang menggiurkan daripada menjaga etika pribadi dan etika umum.

Kalkulasi pragmatis yang masuk akal jika dihubungkan dengan suburnya vonis hukuman rendah terhadap pelaku korupsi, atau ASN dan penegak hukum yang hanya dihukum penundaan kenaikan jabatan atau demosi, yang cepat atau lambat dapat berkarier kembali.

Begitu juga perilaku partai politik dan politisi yang seperti mereduksi makna dan esensi demokrasi adalah perebutan kekuasaan. Partai politik seolah tidak lagi menjadi representasi kepentingan rakyat karena cenderung menjadi representasi kepentingan penguasa atau pemilik partai politik, yakni berebut kekuasaan atau remahnya.

Kondisi yang kemudian memicu rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi politik, pemerintah dan penegak hukum, yang kemudian memunculkan sikap apatisme dan sikap permisif, dimana masyarakat tidak lagi peduli terhadap perilaku aktor politik, pemerintah dan hukum.

Membangun Ulang Etika Politik dan Demokrasi
Minus etika ini sangat berbahaya jika terus berlangsung, karena akan menimbulkan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap negara yang memungkinkan lahirnya kelompok yang mencoba dan berikhitiar untuk melakukan perubahan dasar dan sistem negara. Terutama jika dikaitkan dengan kejahatan yang dilakukan pejabat negara, suburnya peredaran narkoba, hingga peristiwa kekerasan dan asusila yang terjadi di lembaga agama dan pendidikan, yang kemudian menjadi justifikasi dari tidak berfungsinya tatanan etika dan moral yang berdasarkan nilai Pancasila

Belum lagi perilaku para politisi, pejabat publik dan penegak hukum yang seolah tidak memiliki rasa malu walaupun terindikasi terlibat kasus seolah tetap jumawa dengan alasan praduga tidak bersalah, tanpa beban pertanggungjawaban moral menjadi tontonan minusnya kualitas etika dan moralitas bagi masyarakat

Maka menjadi sesuatu yang penting bagi seluruh elemen bangsa dan negara untuk membangun ulang kesadaran etika dan moralitas dalam seluruh sendi kehidupan pribadi, umum dan penyeleggaraan negara, yang tidak hanya bertumpu pada hukum, namun kesadaran pada kepatutan dan kelayakan berdasarkan etika dan moralitas berstandar tinggi.

Merefleksikan kualitas etika dan moral menjadi wajib bagi para pelaku politik dan penyelenggara negara, dengan menggunakan indikator demokrasi Pancasila yang secara tegas menganut gagasan kerakyatan dan musyawarah perwakilan yang berlandaskan nilai ketuhanan, kemanusian, keadilan dan hikmat kebijaksanaan

Tanpa adanya upaya membangun ulang budaya etika dan moral dengan standar yang tinggi maka akan sangat sulit menjaga kepercayaan masyarakat serta mempertahankan legitimasi, karena krisis etika dan moralitas yang semakin parah akan melahirkan masyarakat yang semakin apatis dan perlahan menjurus pada krisis legitimasi negara.

Sumber:


Lainnya

Jumat, 02 Mei 2025

BERDASARKAN rilis pemerintah, Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat sekitar 5.03 % sepanjang 2024, dan nilai ekspor-impo

Kamis, 06 Februari 2025

Penulis Direktur Eksekutif SMIPIDATO Presiden Prabowo Subianto di Jakarta pada 30 Januari 2025 dalam acara Rapim TNI-Pol

Senin, 23 Desember 2024

Penulis Direktur Eksekutif SMIPERNYATAAN pemerintah melalui Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Koordinator Hukum, HAM

Selasa, 26 November 2024

Lembaga Non profit Perkumpulan Suluh Muda Inspirasi (SMI), mengatakan praktik politik uang yang dibiarkan secara terus m

Sabtu, 02 November 2024

Penulis Direktur Eksekutif SMIMOMENTUM pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah ( Pilkada ) Serentak 2024 sudah mulai me