Reshuffle, Bara Dalam Sekam, Belajar dari Nepal
Kamis, 11 September 2025
Penulis Direktur Eksekutif SMI
RESHUFFLE kabinet pada awal September 2025 dilakukan Presiden Prabowo setelah gelombang besar demonstrasi besar akhir Agustus lalu. Sejumlah menteri diganti, termasuk di sektor keuangan dan politik. Namun langka ini tidak serta-merta meredakan ketidakpuasan publik.
Aksi parlemen jalanan yang melibatkan ribuan warga dari berbagai kota telah menyingkapkan keresahan mendalam masyarakat kepada negara, dengan catatan penangkapan massal dan 10 korban meninggal dunia selama 25–31 Agustus 2025
Reaksi pasar terhadap reshuffle ternyata tidak bersahabat. IHSG dan nilai rupiah melemah akibat spekulasi investor bahwa disiplin fiskal akan menurun karena pergantian menteri keuangan
Reshfulle yang diwarnai adanya isu wacana darurat militer yang muncul di lingkaran kekuasaan sebagai opsi mengendalikan protes, menunjukkan wacana represif lebih menonjol daripada kebijakan substantif.
Kebijakan yang justru membuat publik akan semakin kehilangan alasan untuk percaya. Karena protes Agustus bukan sekadar ledakan emosional spontan, namun merupakan puncak dari akumulasi kekecewaan yang panjang.
Kekecewaan yang tidak seharusnya ditanggapi penegak hukum dengan kekerasan yang ditandai dengan adanya laporan penahanan massal, disertai korban jiwa, tanpa menemukan aktor intelektual atau penggerak kerusuhan yang semula merupakan aksi damai, sehingga dianggap semakin menjauh dari fungsi pelindung.
Kepercayaan masyarakat tentunya semakin runtuh terhadap aparatur hukum dan keamanan. Karena banyaknya pemberitaan sebelumnya yang mengungkap praktik uang siluman, pemerasan, dan keterlibatan oknum dalam jaringan kejahatan dan politik, yang melahirkan pertanyaan mendasar: siapa sebenarnya yang dilindungi hukum di negeri ini?
Bara Dalam Sekam
Kemarahan ibarat api yang muncul akibat perilaku pejabat publik, birokrasi dan keamanan. Mereka seperti menari di atas penderitaan masyarakat. Sementara rakyat terjepit dalam kesulitan keuangan, lapangan pekerjaan, kenaikan harga pangan dan hilangnya rasa aman
Jika melihat kebijakan fiskal dalam RAPBN 2026 yang diajukan pemerintah memperlihatkan penurunan drastis alokasi dana transfer ke daerah, dari outlook Rp 864 triliun pada 2025 menjadi sekitar Rp 650 triliun.
Angka itu bukan sekadar hitungan di atas kertas, tapi menggambarkan layanan kesehatan dasar, sekolah, hingga perawatan infrastruktur akan menghadapi pemotongan tajam, pada saat yang sama, inflasi pangan menekan dapur masyarakat.
BPS mencatat inflasi tahunan Agustus 2025 sebesar 2,31 persen dengan tekanan terbesar pada kelompok makanan dan minuman. Di pasar tradisional Medan hingga Jakarta, harga beras, cabai, dan bawang melonjak jauh di atas laju pendapatan masyarakat.
Penurunan dana transfer ke daerah tentunya menimbulkan masalah, karena berpengaruh pada keuangan pemerintah daerah, karena dana yang biasanya dipakai untuk membayar guru honorer, tenaga kesehatan, hingga perbaikan jalan desa dipotong hingga sepertiga
Pemerintah daerah terpaksa mengurangi atau menunda pembangunan infrastruktur. Akibatnya, masyarakat akan merasa bahwa pajak yang dibayar tidak kembali dalam bentuk pelayanan.
Sentimen ketidakadilan inilah yang kemudian melekat pada “kabinet gemuk” yang dianggap hanya menguras anggaran pusat tanpa memberi manfaat ke daerah.
Kondisi ekonomi berpotensi memperburuk segalanya. Data BPS memang mencatat inflasi terkendali di bawah 3 persen, namun realitas pasar berbeda.
Harga beras premium melampaui Rp 15.000 per kilogram di beberapa kota. Cabai rawit menembus Rp 90.000 per kilogram, dan minyak goreng curah yang sempat dijanjikan stabil kembali naik.
Rumah tangga berpenghasilan rendah mengalami tekanan ganda. Pendapatan tidak naik, sementara biaya hidup melonjak. Dalam situasi seperti ini, pertumbuhan ekonomi hanya terdengar sebagai retorika kosong.
Di sisi hukum, publik menaruh harapan besar pada pembahasan RUU Perampasan Aset. Karena dominan masyarakat percaya akan potensi triliunan rupiah yang bisa diselamatkan dari hasil korupsi bila ada mekanisme perampasan yang jelas dan transparan.
Sayangnya, banyak kasus menunjukkan aset hasil rampasan dalam proses penyitaan dan lelang tidak diketahui ke mana peruntukkannya, tanpa akuntabilitas dan laporan terbuka.
RUU ini justru berpotensi menjadi alat baru korupsi, karena itu sangat penting memastikan pengelola aset rampasan yang benar-benar transparan dan bertanggung jawab.
Gejolak Besar di Nepal
Nepal baru saja mengalami gejolak besar. Protes anti-korupsi yang berkepanjangan memaksa perdana menteri mundur,. Gedung parlemen dibakar massa, situasi yang menjadi pengingat bahwa “bara dalam sekam” bisa menjadi kebakaran bila pemerintah gagal membaca aspirasi
Situasi genting ini menuntut keberanian untuk memulihkan kepercayaan. Dimulai dengan investigasi independen terpercaya terhadap penggerak kerusuhan selama demonstrasi Agustus 2025.
Masyarakat berhak mendapat penjelasan, siapa yang bertanggung jawab dan bagaimana proses hukum yang berkeadilan berjalan.
Kemudian, pemerintah harus segera mengoreksi arah fiskal, transfer ke daerah tidak boleh dijadikan korban efisiensi. Rasionalisasi justru harus dimulai dari belanja pusat, terutama pos-pos nonprioritas dan pembiayaan struktur politik yang gemuk.
Realokasi efisiensi pada infrastruktur dasar seperti sekolah, puskesmas, rumah sakit, jalan, transportasi dan industri padat karya sebagai prioritas, pemerintah harus menunjukkan bahwa setiap rupiah pajak yang dibayar masyarakat kembali dalam bentuk layanan nyata.
Selanjutnya inflasi pangan harus ditangani dengan konkret, bukan sekadar operasi pasar simbolis. Pemerintah harus bisa memperkuat subsidi langsung tepat sasaran pada petani. Membatasi alih fungsi lahan pertanian dan melindungi harga agar tidak merugikan petani.
Memastikan rantai pasok dari petani, penggilingan, distributor, pasar hingga konsumen tidak dipermainkan spekulan pasar, pengawasan secara ketat akan lebih efektif ketimbang beretorika ketersediaan cadangan pangan yang aman.
Mengantisipasi deindustrialiasi, maka program padat karya perlu digerakkan untuk menyerap tenaga kerja. Lapangan kerja dan harga kebutuhan pokok adalah indikator paling mudah dirasakan. Jika keduanya membaik, ketegangan sosial perlahan akan surut.
Dan yang membutuhkan penanganan secepatnya adalah melakukan reformasi hukum dengan mendesain seluruh lembaga hukum memiliki mekanisme laporan publik digital triwulanan untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan.
Sehingga setiap laporan masyarakat atau kasus dapat terlihat progresnya, langkah untuk mengembalikan kepercayaan bahwa hukum bekerja untuk kepentingan umum, bukan untuk elite.
Semua ini hanya akan bermakna bila dijalankan dengan komitmen jujur. Penguatan kredibilitas lembaga hukum dan keamanan tidak mungkin terwujud bila masih bergantung pada praktik uang siluman dan pemerasan.
Janji pelayanan publik tidak akan dipercaya bila jalan rusak. Sekolah dan puskesmas kekurangan peralatan dan sumber daya manusia yang berkualitas. Masyarakat tidak menuntut retorika besar, hanya ingin pajak yang dibayar kembali dalam bentuk keadilan, keamanan, dan kesejahteraan.
Reshuffle hanya kosmetik bila tidak dibarengi kebijakan substantif. Ketika harga kebutuhan pokok terus meroket, lapangan kerja menyusut, dana daerah dipotong, dan hukum diperalat, maka wacana stabilitas tidak punya makna. Justru menyimpan bara yang bisa membakar, menjadi krisis politik seperti di Nepal bila negara terus menutup mata.