Gagasan Hatta, Koperasi Desa Merah Putih dan Bahaya Bom Waktu
Sabtu, 09 Agustus 2025
Penulis Direktur Eksekutif SMI
GAGASAN Mohammad Hatta tentang koperasi adalah mahakarya intelektual yang menjadi fondasi ekonomi kerakyatan Indonesia. Dalam pemikirannya koperasi bukan sekadar badan usaha, melainkan manifestasi dari gotong royong, kemandirian dan keadilan.
Bung Hatta membayangkan koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional tiang penyangga yang kokoh, tumbuh dari rahim swadaya masyarakat, dan dikelola secara demokratis untuk menyejahterakan anggotanya.
Koperasi sebagai warisan pemikiran untuk modal lepas dari cengkeraman kapitalisme dan dominasi pemodal besar. Sebuah jalan tengah yang menawarkan keadilan bagi rakyat kecil. Namun, saat ini dihadapkan pada sebuah model baru yang disebut Koperasi Desa Merah Putih
Program yang dirancang untuk mengawinkan semangat pemerataan pembangunan dengan filosofi koperasi, dengan impian, untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi desa dan mencapai target ketahanan pangan. Sayangnya, program ini diselimuti oleh kontroversi dan risiko besar.
Dengan pertanyaan fundamental, apakah program ini akan memperkuat fondasi ekonomi desa, atau justru mengikis substansi koperasi itu sendiri dan menciptakan jerat utang yang membahayakan masyarakat di tingkat akar rumput ?
Pinjaman dari Bank
Sejarah mencatat, koperasi awal di Indonesia lahir dari inisiatif rakyat kecil yang tertekan oleh penjajahan dan ketidakadilan ekonomi. Dengan mengumpulkan modal seadanya, saling bahu-membahu, dan mengelola usaha bersama untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Pada masa itu, koperasi adalah simbol kemandirian dan perlawanan. Bung Hatta dengan gigih merumuskan prinsip-prinsip sebagai landasan hukum dan filosofi yang kuat. Menegaskan bahwa koperasi adalah milik anggota, dikelola oleh anggota, dan hasilnya dinikmati oleh anggota.
Sisa Hasil Usaha (SHU) dibagikan berdasarkan partisipasi, bukan berdasarkan kepemilikan modal. Inilah mengapa koperasi ala Hatta dianggap sebagai wujud nyata dari demokrasi ekonomi. Kekuasaan tertinggi berada di tangan rapat anggota tahunan (RAT), bukan di tangan pengelola atau pihak luar.
Namun, pergeseran terjadi sejak era orde baru, dimana peran pemerintah dalam koperasi mulai mendominasi. Koperasi seringkali dijadikan alat untuk menyukseskan program pembangunan sektoral, seperti penyaluran pupuk atau pemasaran hasil panen.
Intervensi yang meskipun bertujuan baik, perlahan mengikis semangat kemandirian dan partisipasi anggota. Koperasi berubah dari gerakan bottom-up menjadi program top-down.
Rasa kepemilikan anggota melemah, dan keputusan strategis lebih banyak ditentukan oleh birokrasi daripada oleh suara anggota. Realitas yang menjadi peringatan bahaya bagi program Koperasi Desa Merah Putih.
Perbedaan paling krusial dan berisiko antara gagasan koperasi Bung Hatta dan Koperasi Desa Merah Putih terletak pada skema pendanaan.
Bung Hatta menyatakan koperasi harus dibangun di atas fondasi modal swadaya. Sebaliknya, koperasi Desa Merah Putih dirancang dengan mengandalkan suntikan modal besar melalui skema pinjaman dari bank BUMN.
Inilah titik kritis yang berpotensi menimbulkan bahaya besar bagi masyarakat desa. Untuk meyakinkan bank agar berani menyalurkan pinjaman hingga miliaran rupiah per koperasi, pemerintah sempat menjadikan dana desa sebagai jaminan walaupun kemudian dibantah.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 49 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pinjaman dalam Rangka Pendanaan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih yang diundangkan pada 21 Juli 2025, skema dana desa dirancang sebagai jaring pengaman bagi bank, yang secara efektif menempatkan dana vital pembangunan desa sebagai taruhan.
Pasal 11 PMK Nomor 49 Tahun 2025 itu menyatakan bahwa dalam hal jumlah dana pada rekening pembayaran pinjaman tidak mencukupi jumlah angsuran pokok dan bunga/margin/bagi hasil perjanjian pinjaman yang telah jatuh tempo, bank bisa menyampaikan surat permohonan penempatan dana untuk menutupi kekurangan angsuran pokok dan bunga/margin/bagi hasil pinjaman.
Surat permohonan tersebut disampaikan kepada Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara (KPA BUN) Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan untuk Pinjaman Kopdes Merah Putih (KDMP), dan/atau KPA BUN Pengelola Dana Transfer Umum untuk pinjaman Koperasi Kelurahan Merah Putih (KKMP).
Skema ini menciptakan serangkaian bahaya, terutama ancaman terhadap stabilitas finansial dan pembangunan desa. Karena sejauh ini dana desa adalah sumber pendanaan utama untuk pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik, seperti perbaikan jalan, sanitasi dan bantuan sosial.
Jika sebuah koperasi yang dikelola oleh desa mengalami kegagalan usaha, entah karena salah kelola, fluktuasi harga pasar, atau bahkan korupsi, maka dana desa akan tersedot untuk membayar utang.
Dampaknya adalah program vital yang menjadi hak masyarakat bisa terhenti. Tidak hanya mengganggu pembangunan fisik, tetapi juga berpotensi memicu ketidakstabilan sosial dan ekonomi. Karena masyarakat kehilangan akses terhadap fasilitas dasar dan bantuan sosial.
Skema top down ini juga melahirkan persoalan moral hazard yang serius. Dengan kemudahan dan jaminan dari pemerintah, pengelola koperasi kemungkinan kurang bertanggung jawab terhadap pinjaman yang ada.
Karena beranggapan jika terjadi kegagalan, utang akan ditanggung oleh negara. Motivasi untuk mengelola usaha dengan hati-hati, profesional, dan akuntabel bisa berkurang drastis.
Risiko kegagalan tidak sepenuhnya ditanggung oleh pengelola koperasi. Sebuah hal yang bertentangan dengan prinsip kewirausahaan sejati yang menuntut pertanggungjawaban penuh.
Yang lebih membingungkan adalah ketidakpastian dan ketidakjelasan perencanaan bisnis (business plan) yang akan dijalankan oleh koperasi. Program ini seolah-olah berasumsi bahwa begitu dana cair, koperasi akan langsung berjalan dengan sendirinya.
Padahal, sebuah usaha membutuhkan studi kelayakan, analisis pasar, strategi pemasaran, dan manajemen risiko yang matang. Sementara di desa, jumlah sumber daya manusia yang berpengalaman dalam bisnis seringkali terbatas.
Memberikan pinjaman besar tanpa business plan yang jelas dan terverifikasi sama saja dengan memberikan uang kepada orang yang tidak tahu cara mengelolanya dan berpotensi tinggi mengalami kerugian.
Pinjaman dari bank dengan jaminan pemerintah, tentunya sangat berpotensi mengikis semangat kemandirian. Karena pengambilan keputusan strategis koperasi berisiko didikte oleh pihak luar, seperti bank atau birokrasi yang memiliki kepentingan untuk memastikan pinjaman berjalan lancar.
Akibatnya, prinsip satu anggota satu suara hanya menjadi formalitas belaka. Pengurus koperasi yang seharusnya bertanggung jawab kepada anggota kini juga harus melayani kepentingan pihak eksternal. Mengubah koperasi dari sebuah gerakan ekonomi rakyat menjadi sekadar alat untuk menjalankan proyek.
Dengan adanya dana besar yang mengalir ke tingkat desa, program ini sangat berpotensi membuka ruang korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
Keterbatasan sumber daya manusia yang profesional, ditambah dengan lemahnya pengawasan, tentunya menjadi celah bagi oknum yang tidak bertanggung jawab untuk menyalahgunakan pinjaman.
Menjaga Idealisme Hatta dalam Realitas
Koperasi Desa Merah Putih adalah sebuah program dengan ambisi besar yang didorong oleh niat baik. Namun, ambisi tidak seharusnya mengorbankan fondasi koperasi dan menciptakan bahaya finansial bagi masyarakat.
Perlu memastikan keseimbangan dengan langkah konkrit, seperti pemerintah harus mengubah pola pikirnya dari sekadar pemberi proyek menjadi fasilitator dan pendamping, dukungan modal diberikan, tetapi harus diiringi dengan pelatihan manajemen, akuntansi, dan etika bisnis yang ketat.
Yang terpenting, setiap koperasi harus memiliki rencana usaha yang matang dan teruji kelayakannya sebelum mendapatkan pinjaman. Tanpa sumber daya manusia dan business plan yang mumpuni, suntikan modal besar hanya akan menjadi bom waktu.
Skema jaminan utang harus dikaji ulang. Pemerintah harus mencari alternatif yang tidak mengorbankan stabilitas keuangan desa. Misalnya dengan membentuk lembaga penjaminan khusus untuk koperasi.
Atau pemerintah menggunakan skema pembiayaan yang risikonya terpisah dari anggaran negara. Hal ini sebagai upaya untuk memaksa pengelola lebih profesional dan bertanggung jawab, sekaligus memberikan rasa aman bagi perbankan.
Mengembalikan roh demokrasi dan kemandirian koperasi, pengelolaan koperasi harus berjalan transparan dan demokratis. Pengurus harus dipilih secara adil dan bertanggung jawab penuh kepada anggota, bukan hanya mengejar target pembentukan dari pemerintah yang notabene merupakan pihak luar koperasi.
Koperasi Desa Merah Putih adalah sebuah peluang sekaligus tantangan. Jika gagal menyeimbangkan idealisme Hatta dengan pragmatisme proyek, maka berisiko menciptakan ribuan koperasi "macan kertas" besar secara formal, tetapi rapuh secara substansi.
Mengembalikan koperasi ke jalurnya adalah tantangan utama saat ini, demi mewujudkan cita-cita demokrasi ekonomi yang adil dan mandiri, yang tidak dibangun di atas utang yang berisiko, melainkan di atas fondasi kemandirian dan gotong royong yang kokoh.