Demokrasi dan Kebebasan Berpendapat

Selasa, 14 September 2021
 Demokrasi dan Kebebasan Berpendapat

DEMOKRASI menurut Plato (428-348 SM) adalah sistem pemerintahan yang meletakkan kedaulatan tertinggi pada kehendak rakyat. Karena itu setiap orang memiliki hak, termasuk hak menyatakan pendapat, yang tentunya dengan aturan main yang jelas Dari data yang dirilis The Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2020, Norwegia memiliki indeks demokrasi tertinggi di dunia dengan skor 9.81, disusul Islandia skor 9.37, dan Swedia 9.26. Sementara, Indonesia berada pada urutan ke 64 dunia dengan skor 6.3, atau menurun dari skor sebelumnya yaitu 6.48.

Proses pemilu dan pluralisme, fungsi dan kinerja pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, serta kebebasan sipil, adalah indikator yang digunakan EIU dalam menentukan indeks demokrasi suatu negara. Di Indonesia, EIU memberikan skor 7.92 untuk proses pemilu dan pluralism, sedangkan fungsi dan kinerja pemerintah dengan skor 7.50, partisipasi politik 6.11, budaya politik 4.38, dan kebebasan sipil dengan skor 5.59.

EIU mengklasifikasikan demokrasi dalam empat kategori, yaitu demokrasi penuh, demokrasi tidak sempurna, rezim hibrida, dan rezim otoritarian. Indonesia berada pada kategori demokrasi tidak sempurna, yaitu pemilu masih berlangsung secara adil dan bebas serta kebebasan dasar sipil dihormati. Demokrasi yang tidak sempurna dapat dilihat dari masih adanya pelanggaran kebebasan pers, kebebasan berpendapat tanpa norma, praktik politik uang, rendahnya partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam penyusunaan kebijakan.

Belajar dari Norwegia dan Islandia, yang memiliki skor demokrasi tertinggi, sangat terlihat bahwa kualitas demokrasi didorong oleh kualitas masyarakat, yang meliputi latar belakang pendidikan dan sosial ekonomi, sehingga dapat dikatakan, kualitas demokrasi sangat ditentukan oleh kualitas masyarakatnya. Termasuk kualitas kritik dan kebebasan berpendapat, yaitu kritik dan kebebasan yang bertanggungjawab, yakni memegang teguh prinsip, etika, dan norma (mengkritisi dengan menampilkan data), solutif sebagai masukan untuk memperbaiki kekurangan.

Karena pemerintahan yang tidak dikontrol oleh pengawasan dan kritik dari masyarakat dapat menimbulkan pemerintahan yang otoriter, dan sangat mungkin menjadi seperti ungkapan Tenesse William bahwa “Democracy is just a stage to come up with a name”, yang memiliki arti “demokrasi hanyalah panggung untuk memunculkan nama “.


Kebebasan berpendapat dan Demokrasi
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) melaporkan bahwa sejak tahun 2008 hingga 2021, UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah menjerat 375 warganet, dan beberapa dianggap sebagai praktik abuse of power dalam penerapan UU ITE. Karena yang menjadi korban penerapan adalah suara kritis yang dekat dengan kritik terhadap pemerintahan.

Sementara di sisi lainnya, negara dituntut tanggung jawabnya untuk menghormati dan melindungi hak pihak lainnya, atau dengan kata lain “nullum crimen, nulla poena sine lege” atau “tidak ada kejahatan, tidak ada hukuman”.
Dengan perkembangan media sosial, seperti Youtube, Facebook dan lainnya, sangat jelas terlihat banyak pihak yang tidak bisa membedakan antara kritik atau penghinaan, antara asumsi atau kebohongan, dan banyak yang berlindung di balik kebebasan berpendapat sebagai salah satu syarat demokrasi.

Kata kebebasan yang dimaksud dalam berpendapat sejatinya adalah kebebasan yang bertanggung jawab dalam isi dan jenis pendapat ataupun kritik yang disampaikan, dengan memperhatikan hak orang lain dan mengedepankan data dan fakta sebagai basis analisis. Termasuk munculnya somasi dari pejabat publik terhadap beberapa aktivis, somasi yang menuntut permintaan maaf atas, dari pemberitaan yang di anggap fitnah, daripada sebuah kritik, karena dianggap tidak berisi data dan fakta yang benar. Namun asumsi dari berbagai kecurigaan yang dikait-kaitkan.

Pengertian kata pendapat menurut KBBI, adalah pikiran atau buah pemikiran, tentang sesuatu (orang atau peristiwa), bisa juga diartikan sebagai kesimpulan dari proses penyelidikan, pertimbangan dan lainnya. Sedangkan arti kritik menurut KBII adalah kecaman atau tanggapan, yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya.

Secara etimologis bahasa Yunani, yaitu κριτικÏŒς, 'clitikos - "yang membedakan", dan jika diturunkan dari bahasa Yunani Kuno κριτής, krités, yang artinya "orang yang memberikan pendapat beralasan" atau "analisis", "pertimbangan nilai", "interpretasi", atau "pengamatan".

Sehingga dapat disimpulkan kritik adalah tindakan yang dilakukan tanpa menyinggung atau merendahkan harkat dan martabat pihak manapun, dengan menggunakan bahasa yang baik dan mudah dipahami maksudnya, serta menggunakan data dan fakta yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman antar pihak yang dikritik dan pihak yang mengkritik.

Apalagi kritik saat ini banyak disampaikan melalui media sosial yang bisa diakses semua orang. Disinilah sebenarnya perlu kekuatan kualitas data, fakta dan metode analisis yang digunakan dalam menyampaikan kritik, termasuk kualitas pihak yang menyampaikan kritik, semakin berkualitas isi dan metode analisisnya, maka semakin mendorong maju kualitas demokrasi.

Fenomena kemudahan menyampaikan kritik tanpa kajian mendalam, pada akhirnya menjadi penyebab banyaknya kasus masyarakat pengguna media sosial, harus berhadapan dengan berbagai pasal dalam UU ITE, karena banyaknya berita palsu atau hoaks (fitnah), yaitu usaha menipu atau memanipulasi pembaca atau pendengar, untuk mempercayai sesuatu yang disampaikan, walaupun isi berita, merupakan hasil editan atau potongan rekaman audio, video dan tulisan, yang menyebabkan disinformasi.

Dan kritik yang seharusnya berupa saran solutif serta konstruktif, kemudian berubah menjadi penggiringan opini masyarakat, ke hal yang belum terbukti kebenarannya, untuk menjatuhkan pihak lainnya, menimbulkan kecurigaan dan kebencian, hingga kerugian, bagi individu atau golongan yang menjadi objek pemberitaan.

Kualitas Kebebasan Berpendapat dalam Demokrasi
Amanah konstitusi dalam Pasal 28E ayat 3 UUD 1945, adalah menjamin hak kebebasan berpendapat. Begitu juga Pasal 23 ayat (2) No 39 Tahun 1999 Hak Asasi Manusia yang berbunyi “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan Negara”.

Tetapi konstitusi juga mengatur dalam mengeluarkan pendapat harus menghargai hak orang lain, serta tunduk pada hukum yang berlaku, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Jika melihat pengertian dari bunyi UUD dan UU HAM diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kebebasan berpendapat bukan tanpa batasan. Karena kebebasan tanpa batas justru menjadi perusak utama dalam demokrasi dan berpotensi melahirkan kekacauan. Karena sejatinya praktik demokrasi tidak mengarah pada kebebasan absolut yang menjauhkan norma dan etika.

Sejak berlangsungnya sistem pemilihan langsung “One Man, One Vote”, dan digitalisasi sistem informasi, telah berjalan seiring dengan kemunculan berbagai narasi yang mengarah pada ujaran kebencian, hasutan, provokasi, adu domba, dan caci maki.

Dan atas nama demokrasi, praktik polarisasi yang saling menjatuhkan sangat mengemuka, termasuk manipulasi kesadaran, dan keilmuan, serta menjadikan kritik yang seharusnya menjadi vitamin dan suplemen utama demokrasi, menjadi racun yang membunuh demokrasi dari dalam secara perlahan.

Disinilah pentingnya nilai dan etika dalam praktek kebebasan berpendapat dan kritik untuk mendorong majunya proses demokrasi, yakni mengedepankan nilai dan prinsip yang saling mengakui, menghargai dan menghormati, serta melibatkan aspek keseimbangan hak dan kewajiban, termasuk juga asas manfaat.

Karena kebebasan berpendapat yang diberikan konstitusi, bukanlah kebebasan yang bersifat mutlak, tapi sangat bersandar pada etika, seperti pendapat Aristoteles, bahwa terdapat tiga pilar etika komunikasi yang dapat dimanfaatkan sebagai landasan mengkritik, mulai dari etos, pathos, dan logos.

Etos, yakni kritik yang memperhatikan aspek moralitas, termasuk kualitas atau kredibilitas sumber, kemudian Pathos yang berkaitan dengan relasi emosional yang terbangun dalam konteks ini antara orang yang mengkritik dengan representasi realitas atau masyarakat yang diwakili (empati), dan Logos, berkaitan substansi atau isi kritik, berdasarkan fakta dan data yang logis, tidak direkayasa atau dibuat demi kepentingan tertentu.

Sumber:


Lainnya

Jumat, 02 Mei 2025

BERDASARKAN rilis pemerintah, Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat sekitar 5.03 % sepanjang 2024, dan nilai ekspor-impo

Kamis, 06 Februari 2025

Penulis Direktur Eksekutif SMIPIDATO Presiden Prabowo Subianto di Jakarta pada 30 Januari 2025 dalam acara Rapim TNI-Pol

Senin, 23 Desember 2024

Penulis Direktur Eksekutif SMIPERNYATAAN pemerintah melalui Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Koordinator Hukum, HAM

Selasa, 26 November 2024

Lembaga Non profit Perkumpulan Suluh Muda Inspirasi (SMI), mengatakan praktik politik uang yang dibiarkan secara terus m

Sabtu, 02 November 2024

Penulis Direktur Eksekutif SMIMOMENTUM pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah ( Pilkada ) Serentak 2024 sudah mulai me