80 Tahun Kemerdekan: Negara Tanpa Esensi
Sabtu, 16 Agustus 2025
Penuis Direktur Eksekutif SMI
PEMBUKAAN UUD 1945 menegaskan tujuan kehadiran negara adalah melindungi, memajukan kesejahteraan, mencerdaskan kehidupan dan menjamin keadilan anak bangsa. Namun yang terasa justru ketimpangan antara tujuan dan realitas kehidupan masyarakat
Pajak terus dipungut, birokrasi terus tumbuh, tapi akses masyarakat terhadap layanan dasar, perlindungan hukum, keamanan, dan lapangan pekerjaan layak semakin sulit.
Negara hadir secara formal, tetapi absen secara substansi, dalam terminologi politik disebut populi vacante
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 menegaskan ironi ini. Pendapatan negara ditetapkan Rp 2.996,9 triliun, di mana lebih dari Rp 2.490,9 T (83 %), bersumber dari pajak masyarakat, termasuk menengah ke bawah
Pajak yang berasal dari PPN, PPh, cukai dan berbagai penerimaan yang bertujuan membiayai kebutuhan kolektif, namun, distribusinya menunjukkan bahwa sebagian besar digunakan untuk membiayai birokrasi dan belanja pegawai
Belanja pegawai mencapai Rp 521,4 T, termasuk gaji, tunjangan dan pensiun, jika ditambah belanja operasional, total anggaran yang terserap menembus ± Rp 600 T, hampir sepertiga APBN, hingga Juni 2025 realisasi belanja pegawai menyentuh Rp 163 T
Sedangkan belanja pendidikan yang dialokasikan Rp 724,3 T, dibagikan untuk ±25 kementerian/lembaga, dana transfer daerah dan membayar tunjangan guru, staf pendidikan.
Sementara belanja kesehatan hanya Rp 218 triliun, sehingga optimalisasi layanan kesehatan sangat terbatas.
Negara Tanpa Esensi
Selain ketimpangan alokasi anggaran, tekanan inflasi pangan 3,75% pada Juli 2025 membuat harga kebutuhan pokok meroket. Industri dalam negeri melemah akibat biaya input yang tinggi dan pajak yang mencekik.
Usaha kecil menengah yang menjadi tulang punggung ekonomi kesulitan berkembang karena beban produksi dan akses pasar yang terbatas.
Keamanan berusaha semakin menurun, menegaskan bahwa meskipun negara menarik pajak, perlindungan dan rasa aman justru semakin sulit dijangkau.
Kelangkaan rasa aman akibat tingginya angka kejahatan di jalanan hingga lingkungan warga, termasuk premanisme yang menjadikan pedagang, supir angkutan, usaha kecil menengah sebagai target tindakan dengan paksaan membayar "biaya siluman" atau iuran keamanan yang tidak jelas dasar hukumnya.
Kritik lagu “Bayar, Bayar, Bayar” dari Sukatani adalah simbol kegelisahan masyarakat yang terus ditekan pajak, retribusi dan biaya lainnya, tetapi tidak memperoleh imbalan nyata pelayanan atau perlindungan selayaknya
Novel Max Havelaar karya Multatuli menjadi refleksi tajam terhadap kondisi ini, memotret penderitaan masyarakat akibat sistem pajak kolonial yang menindas, korupsi pejabat lokal dan eksploitasi tanpa batas
Sedangkan Soekarno melalui Indonesia Menggugat menegaskan bahwa kemerdekaan sejati tidak hanya dari penjajahan fisik, tetapi juga dari sistem yang mengekang dan menindas
Dua karya yang menjadi alarm. Ironisnya, setelah 80 tahun kemerdekaan, polanya dirasa kembali dalam bentuk modern. Pajak masyarakat membiayai gendutnya birokrasi, tetapi layanan publik yang prima untuk masyarakat masih jauh dari harapan
Ini bukan sekadar ketidakadilan ekonomi. Ada perlakuan yang membuat masyarakat merasa diabaikan. Ktika datang untuk layanan kesehatan, pendidikan, mengurus surat, melaporkan kejahatan atau mencari keadilan justru dihadapkan pada birokrasi yang lambat dan sikap arogan.
Masyarakat diperlakukan seperti objek yang hanya dihadapi, bukan warga negara yang berhak mendapatkan layanan sesuai konstitusi
Kondisi yang memunculkan ketidakpercayaan mendalam: warga membayar pajak, tetapi tidak merasakan keadilan. Perlindungan, atau keamanan, dengan kata lain, negara hadir di kertas dan administrasi, tetapi kosong untuk substansi kebutuhan masyarakat
Belajar dari kehancuran setelah Perang Dunia II, dengan menghidupkan nilai Bushid? yang menekankan kehormatan, tanggung jawab, pengorbanan dan keberanian, Jepang berhasil dipersaingan global
Meritokrasi ketat menjadikan jabatan sebagai amanat, bukan hak istimewa. Pejabat yang gagal memenuhi target program publik secara moral terdorong untuk mundur. Budaya malu menjadi instrumen kontrol sosial yang efektif.
Ekonomi yang hancur pasca revolusi kebudayaan, Cina melakukan industrialisasi terarah dan pengetatan meritokrasi. Mereka berfokus pada infrastruktur, pendidikan dan insentif inovasi, berhasil mengangkat jutaan warganya keluar dari kemiskinan ekstrem.
Indonesia memiliki kapasitas fiskal lebih baik dibanding Jepang pasca-1950 atau Cina pada 1980-an, namun, tidak digunakan untuk mendorong produktivitas dan layanan publik. Sbagian besar anggaran terkunci di belanja rutin birokrasi dan pegawai.
Perbedaannya adalah mentalitas pejabat publik. Aparat hukum dan birokrasi yang merasa jabatan dan fasilitas sebagai hak istimewa. Berbeda jauh dengan etos kerja Jepang yang mengedepankan integritas, rasa malu dan tanggungjawab moral
Akibatnya adalah pemimpin yang gagal menjadi panutan, masyarakat kehilangan pegangan moral. Akhirnya, kejujuran terganti oleh mentalitas "yang penting kaya dan berkuasa". Nilai luhur dan ksatria jadi topeng. Moral-integritas runtuh dan masyarakat kekosongan keteladanan
Mengembalikan Esensi Kemerdekaan Kondisi ini membutuhkan perubahan tindakan. Pajak harus diposisikan sebagai kontrak sosial. Ssetiap rupiah yang dibayarkan masyarakat harus kembali dalam bentuk layanan kesehatan prima.
Pendidikan berkualitas, lapangan pekerjaan, infrastruktur layak dan jaminan keamanan, sebagai bentuk pertanggungjawaban
Meritokrasi ketat sebagai kewajiban. Rekrutmen dan promosi jabatan publik dan birokrasi harus berbasis kompetensi dan integritas, bukan uang atau koneksi. Pejabat yang gagal memenuhi target menerima konsekuensi, termasuk pengunduran diri atau sanksi moral
Terpenting adalah pengalihan belanja negara ke sektor produktif. Efisiensi belanja rutin dan pegawai yang tidak produktif. Dfokuskan pada infrastruktur, pertanian, pembangunan industri dalam negeri dan modal kerja untuk meningkatkan produktivitas masyarakat.
Masyarakat harus memahami bahwa keberhasilan pembangunan dan pelayanan publik tidak hanya urusan pemerintah, tetapi kontrak sosial bersama yang menuntut pengawasan, partisipasi, dan kesadaran kolektif.
80 tahun kemerdekaan adalah momentum untuk kembali esensi kehadiran negara yang bertujuan, melindungi, dan memberdayakan warganya.
Pajak yang dibayarkan harus menjadi investasi nyata bagi kesejahteraan, perlindungan dan keamanan publik. Sekaligus menegaskan bahwa pajak hanya sah secara moral jika diimbangi layanan yang setara bagi pembayar.
Negara tidak hanya hadir di dokumen dan kantor, tetapi terasa nyata dalam tanggungjawabnya pada warga,
Karena keberhasilan negara tidak ditentukan oleh besarnya anggaran atau simbol kekuasaan, tetapi oleh kemampuan memberikan rasa aman, nyaman dan keadilan kepada masyarakat tanpa terkecuali.
Negara tidak bisa absen dalam pelayanan dasar, tapi hadir memungut pajak. Perilaku pejabat publik dan birokrasi tidak bisa hanya menuntut, tetapi menjadi role mode tingginya integritas, moral, dan tanggung jawab.
Kemerdekaan akan terasa ketika masyarakat yakin pajaknya digunakan negara untuk mengubah kehidupan. Kemerdekaan tanpa keadilan hanya perubahan bendera, bukan perubahan nasib.
Di balik kibaran merah putih, banyak warga yang merindukan kehadiran negara untuk memberi arti “merdeka dalam setiap urusan hidupnya.